Sabtu, 04 Januari 2014

System Pengendalian Dana Likuiditas BSM



SYSTEM PENGENDALIAN DANA LIKUIDITAS
BANK SYARIAH MANDIRI

1.         Pendahuluan
Pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik yang besar maupun yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan lebih karena ketidakmampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik dan menguntungkan. Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat perolehan keuntungan suatu bank ( Amir Mahmud dan Rukmana, 2010 : 141 )
Likuiditas merupakan hal yang paling penting dalam bidang  operasional perbankan. Sebuah bank tidak dapat menolak, atau menunda pembayaran yang diajukan nasabahnya dengan alasan bank tidak memiliki dana saat itu. Bank syariah pun demikian, setiap penarikan yang dilakukan oleh nasabah khususnya giro wadi’ah dan tabungan wadiah harus dipenuhi, pemberian pembiayaan juga harus dipenuhi oleh sesuai dengan  akad yang telah disepakati.
Bank-bank Konvensional dalam operionalnya, bila mengalami kesulitan likuiditas dapat menggunakan Pasar Uang dan Pasar Modal dengan berbagai instrument, seperti fasilitas diskonto (discount rate),  fasilitas Bank Indonesia (FASBI), Sertifikat Bank Indoensia (SBI), saldo Giro Wajib Minimum (likuiditas), Pagu Kredit, Operasi Pasar Terbuka.  Berbeda halnya Bank syariah, bila mengalami kesulitan likuiditas tidak semua instrument tersebut  dapat digunakan karena mengandung bunga. Instrument yang dapat digunakan perbankan syariah hanyalah merepo (repurchace Agreement) Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dan efek-efek (khusus saham-saham yang bebas bunga). Obligasi merupakan surat pengakuan hutang dan instrument lainnya tidak bisa digunakan oleh Bank syariah karena instrument-intrumen tersebut tidak dapat melepaskan diri dari bunga
Bank syariah dalam melakukan kegiatan usaha berada di bawah pengawasan Bank Sentral ( Bank Indonesia) yang mengatur likuiditas dalam rangka kebijakan moneter atau pengendalian uang yang beradar menetapkan ketentuan jumlah saldo Giro Wajib Minimum (GWM) yang harus disediakan oleh Bank Umum Konvensional (selanjutnya disingkat BUK), Bank Umum Syariah (selanjutnya disingkat BUS )dan Unit Usaha Syariah (selanjutnya disingkat UUS ).  Ketentuan ini tertuang  dalam Undang-undang No 23/1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang No 3/2004 dan Undang Undang No 6 tahun 2009, Undang Undang No 7/1992 yang diubah dengan UU no 10/1998 serta UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah antara lain menetapkan bahwa bank syariah wajib menyimpan dana di Bank Indonesia sebagai  simpanan wajib minimum yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Rachmadi Usman (2012 : 174) menyatakan bahwa setiap Bank Umum termasuk perbankan syariah diwajibkan memelihara Giro Wajib Minimum  dalam rupiah maupun valuta asing. Giro Wajib  Minimum dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % dari Dana Pihak Ketiga ( DPK )  dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara Giro Wajib Minimum dalam valuta asing sebesar 1 % dari dana pihak ketiga dalam valuta asing.
Resiko kesulitan likuiditas adalah resiko yang potensial terjadi pada setiap lembaga keuangan perbankan, karena adanya penarikan yang cukup besar dari nasabah. Bank syariah juga sangat potensial dari kemungkinan kesulitan likuiditas karena dana yang tertanam pada kegiatan-kegiatan bisnis musyarakah, mudharabah dan piutang murabahah tidak mudah dicairkan dalam waktu singkat bila terjadi penarikan besar dari investor khususnya dari nasabah Giro Al-Wadi’ah dan nasabah Tabungan Al-wadiah, sehingga diperlukan cadangan likuiditas yang cukup besar, cadangan saham yang marketable seperti saham-saham pemerintah yang bebas bunga, atau saham-saham perusahaan besar bebas bunga yang mudah dicairkan guna menutup kekurangan likuiditas. Namun demikian, dengan perkembangan bisnis yang semakin maju pesat menuntut kita untuk memikirkan dan menciptakan instrument-instrument yang bebas bunga yang dapat menanggulangi kesulitan likuiditas bank syariah, agar tidak terjadi kesulitan likuiditas dikemudian hari yang dapat berakibat kegagalan sistemik pada perbankan syariah.
Pelaksanaan Operasi Moneter Syariah (OMS) oleh Bank Indonesia merupakan pengejawantahan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah. Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai target pengendalian uang yang beredar. Pencapaian target operasional tersebut dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan syariah melalui kontraksi moneter atau ekspansi moneter. Kecukupan likuiditas perbankan syariah dapat berupa target uang primer atau komponennya yang terdiri dari uang kartal yang ada di bank dan masyarakat, dan saldo giro bank dalam rupiah di Bank Indonesia. Pemerintah melalui Bank Indonesia yang memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dengan mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah  yang disebut  Operasi Moneter Syariah ( selanjutnya disingkat OMS ).  OMS dilakukan melalui kegiatan “Operasi Pasar Terbuka” ( OPT ) untuk kontraksi moneter dilakukan dengan menerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan merepo Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dan Surat-surat berharga yang bernilai tinggi yang dimiliki oleh Bank Indonesia.   dan Penyediaan Standing Facilities berdasarkan prinsip syariah.
Salah satu perbankan syariah yang menarik perhatian untuk diteliti mengenai system pengendalian likuiditasnya adalah Bank Syariah Mandiri (selanjutnya disingkat BSM). BSM berdiri tahun 1999 yang merupakan konversi dari bank konvensional Bank Susilo Bakti yang dibeli oleh Bank Dagang Negara dan merupakan bank syariah kedua di Indonesia. B S M  merupakan bank syariah yang didirikan oleh Bank BUMN milik pemerintah. Pendirian B S M  kemudian diikuti oleh pendirian beberapa bank syariah dan unit usaha syariah. B S M tergolong sebagai Bank Umum Syariah sebagaimana halnya Bank Muamalat Indonesia, Bank Mega Syariah,  Bank syariah Bukopin, Bank BCA Syariah, dan Bank BRI Syariah (Ismail 2011 : 33).
BSM mulai beroperasi setelah Bank Muamalat Indonesia beroperasi selama 7 tahun dan perkembangannya  melaju dengan cepat, sampai melewati perkembangan BMI. Ditinjau dari jumlah dana masyarakat yang dapat dihimpun pada  akhir Desember 2011 BSM menduduki peringkat pertama di antara bank syariah dan menduduki peringkat 12 (dua belas) di antara 17 (tujuh belas) bank konvensinal papan atas di Indonesia.
B.         Pemeliharaan Likuiditas dalam Operasional Bank Syariah
1.         Beberapa Pengertian Umum
Ketentuan umum Bab I Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, memberikan batasan tentang hal-hal berikut :
1.1.      Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat (angka 2)
1.2.      Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (angka 3)
1.3.      Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat (angka 4)
1.4.      Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvnesional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (angka5)
1.5.      Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (angka 1)
1.6.      Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. (angka 7)
1.7.      Bank  Umum  Syariah  adalah  Bank  Syariah  yang  dalam  kegiatannya memberikan jasa  dalam lalu  lintas pembayaran (angka 8)
1.8.      Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari Kantor Pusat Bank Umum Konvnesional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah  ( angka 10 )
1.9.      Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12 UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah). Sedangkan menurut UU No 7/1992 tentang perbankan yang diubah oleh UU No 10/1998, Pasal 1 (angka 13) menyatakan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan bagi hasil  (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
1.10.  Tabungan adalah simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu (angka 21)
1.11.  Deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan Bank syariah dan/atau UUS (angka 22).
1.12.  Giro Adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan (angka 23).
1.13.  Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank syariah dan/atau UUS berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (angka 24)
C.            Dana Likuiditas Perbankan Syariah
Salah satu kendala operasional yang dihadapi perbankan syariah adalah kesulitan mengendalikan likuiditas secara efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala antara lain :
-          Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana deposito yang diterima dari nasabah. Dana-dana tersebut terakumulasi dan menganggur untuk beberapa hari, sehingga mengurangi rata-rata pendapatannya.
-          Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan pada saat ada penarikan dana dari nasabah giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah dalam situasi kritis, menyebabkan bank syariah menahan alat likuiditasnya dalam jumlah besar dibandingkan dengan rata-rata perbankan konvensional. Kondisi ini pun menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan bank syariah.
 M. Syafii Antonio ,( 2001 :186) mengatakan bahwa tanpa adanya fasilitas pasar uang, bank konvensional pun akan menghadapi masalah yang sama, mengingat pada umumnya perbankan sulit menghindari posisi keuangan yang mismatched. Untuk memanfaatkan dana yang idle, bank dapat melakukan investasi jangka pendek di pasar uang. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dana untuk likuiditas jangka pendek, bank juga dapat memperoleh di pasar uang (Pertaruran BI no 2/8/PBI/2000). Dalam kaitan ini perbankan syariah menghadapi kendala, mengingat surat-surat berharga di pasar keuangan konvensional berbasis system bunga (kecuali saham perusahaan syariah). Masalah ini berdampak negative pada pengelolaan likuiditas  maupun pengelolaan investasi jangka panjang, sehingga perbankan syariah terpaksa hanya memusatkan portofolionya pada aktiva jangka pendek yang terkait dengan perdagangan (murabahah). Hal ini berlawanan dengan keperluan investasi dan pembangunan ekonomi.
Pinjam-meminjam uang dengan imbalan keuntungan dilarang, Pendapatan atau keuntungan hanya dapat diperoleh dengan bekerja melalui kegiatan perniagaan yang tidak dilarang oleh Islam. Untuk menghindari pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh syariah Islam tersebut, piranti keuangan yang diciptakan harus didukung oleh aktiva, proyek aktiva atau transaksi jual-beli yang berlatarbelakang halal, yaitu dengan membentuk bukti penyertaan baik dalam bentuk penyertaan musyarakah maupun dalam bentuk penyertaan mudharabah (M Syafii Antonio, 2001 : 189).
M. Syafii Antonio  (2001 : 190) mengatakan bahwa Seseorang akan tertarik menanamkan dananya pada instrument keuangan apabila mereka yakin bahwa instrumen tersebut dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi pendapatan efektip dari investasinya. Oleh itu instrument keuangan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut :
-          Pendapatan yang baik (good return)
-          Risiko yang rendah (low risik)
-          Mudah dicairkan (redeemable)
-          Sederhna (simple)
-          Fleksibel 


D.           Rasio Likuiditas dan Solvabilitas
Likuiditas secara luas didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek atau kebutuhan dana (cash flow) dengan segera. Sedangkan Solvabilitas adalah kemmpuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang.
Amir Mahmud & Rukmana (2010 : 94) mengatakan bahwa dalam menganalisis perbandingan kinerja penyaluran dana masyarakat pada perbankan  dilihat dari aspek likuiditas dan solvabilitas. Aspek likuiditas  menggunakan analisis rasio likuiditas berupa Financing to Deposit Ratio ( F D R ) dan cash ratio. Analisis rasio likuiditas merupakan analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek atau kewajiban yang sudah jatuh tempo. Rasio pengukuran untuk menganalisis rasio likuiditas perbankan dapat menggunakan Financing to Deposit Ratio (FDR)  yaitu perbandingan antara jumlah nilai pembiayaan yang diberikan (total financing) dengan jumlah dana pihak ketiga ditambah ekuitas (total deposit).  Analisis rasio solvabilitas merupakan analisis yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban jangka panjang atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya jika terjadi likuidasi. Salah satu rasio pengukuran untuk menganalisis rasio solvabilitas perbankan adalah capital adequacy ratio (CAR) yang jumlahnya minimal 8 %. Capital adequacy ratio adalah rasio kecukupan modal yang merupakan perbandingan antara jumlah modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). ATMR  diperoleh dari masing-masing aktiva dinilai menurut bobot resikonya
E.         Giro Wajib Minimum Pada Bank Indonesia
Bank Konvensional memelihara  Likuiditas Wajib Minimum (Statutory Reserve Requirements). Likuiditas wajib minimum atau Giro Wajib Minimum adalah ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan setiap bank memelihara sejumlah minimum alat likuid yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari jumlah Dana Pihak Ketiga ( DPK ) yang  dihimpun  atau  kewajiban lancar bank. Rachmadi Usman (2012 : 174) mengutip dari Peraturan Bank Indonesia No 6/21/PBI/2004, yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No 8/23/PBI/2006, dan diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/23/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum (selanjutnya disingkat GWM) menyatakan bahwa setiap Bank Umum termasuk perbankan syariah diwajibkan memelihara G W M dalam rupiah maupun valuta asing. GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % dari Dana Pihak Ketiga (selanjutnya disingkat DPK) dalam rupiah dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara GWM dalam valuta asing sebesar 1 % dari DPK dalam valuta asing. Di samping itu, bagi bank umum syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah kurang dari 80 %, dan
-          Bank yang memiliki DPK lebih besar dari Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1 % dari DPK dalam rupiah
-          Bank yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2 % dari DPK dalam rupiah
-          Bank yang memeliki DPK rupiah lebih besar dari Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3 % dari DPK dalam rupiah
-          Khusus Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadp DPK  dalam rupiah sebesar 80 % atau lebih dan/atau memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 trilyun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM
Rasio alat likuid terhadap DPK yang dihimpun bank yang harus segera dibayar, digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik dengan menggunakaan alat likuid yang dimilikinya. Menurut ketentuan Bank Indonesia, alat likuid terdiri atas uang kas ditambah dengan rekening giro bank yang disimpan pada Bank Indonesia. Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, namun dalam praktik akan mempengaruhi produktifitasnya. Likuiditas wajib atau disebut juga cadangan wajib minimum ini seringkali dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cadangan primer (primary reserves) dan cadangan sekunder (secondary reserves). Bank sentral dapat saja mewajibkan setiap bank memelihara kedua jenis cadangan tersebut bergantung pada kebijakan moneter yang dijalankan di Negara bersangkutan. Namun telah menjadi strategi atau kebijakan dalam manajemen likuiditas bank, meskipun bank tidak diwajibkan memelihara cadangan sekunder, bank biasanya tetap memiliki sejumlah cadangan selain cadangan primer untuk menjaga apabila cadangan primer bank tidak mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan likuiditas bank dalam operasinya sehari-hari.
Cadangan primer yang dipelihara dalam bentuk giro pada bank sentral umumnya tidak mendapat jasa giro atau bunga. Namun untuk pertimbangan tertentu bank sentral dapat memberikan jasa giro dari kelebihan saldo likuiditas wajib minimum.
Dan cadangan sekunder dimaksudkan sebagai back up apabila cadangan primer tidak mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan likuiditas atau penarikan yang dilakukan oleh nasabah, baik melalui kliring maupun penarikan secara tunai. Cadangan sekunder ini biasanya dalam bentuk sekuritas atau surat-surat berharga yang sangat likuid dan berkualitas tinggi, mudah diuangkan dan memiliki risiko rendah, misalnya Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Perbendaharaan Negara (Treasury Bills).
Ketentuan pemeliharaan likuiditas berlaku juga pada Perbankan syariah ( Peraturan BI No 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam rupiah dan valas bagi bank umum/prinsip syariah). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh M. Syafii Antonio (2001 :186) bahwa tugas utama manajemen bank, termasuk bank syariah adalah memaksimalkan laba, meminimalkan resiko dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Manajemen tidak dapat semaunya menarik nasabah untuk menyimpan dananya di bank tanpa memberikan keyakinan kaepada nasabah bahwa investasi dana itu menguntungkan dan sewaktu-waktu dapat ditarik oleh nasabah  atau pada saat jatuh tempo.
F.           Pengendalian Likuiditas Melalui Pasar Uang Antarbank

Pasar uang (money market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu dana berjangka waktu kurang dari satu tahun. Dalam teori ekonomi, pasar uang bukanlah suatu tempat secara fisik orang berjualan, namun diartikan secara luas,  abstrak dan tetap mencakup pengertian pertemuan antara permintaan dan penawaran. Apabila permintaan bertemu penawaran di pasar maka akan terjadi transaksi.  Transaksi merupakan kesepakatan antara apa yang diinginkan pembeli dan apa yang diinginkan penjual.Transaksi pasar uang dilakukan secara OTC (Over The Counter), para dealer bekerja di dealing room bank masing-masing dan bertransaksi melalui berbagai jaringan komunikasi canggih seperti RMDS (Reuters Monitor Dealing System), broker voice mail, telex, faksimili (Andri Soemitra, 2010 : 205).
Harga dalam pasar uang konvensional ditentukan dalam bentuk persentase untuk jangka waktu tertentu yang diterima oleh pemberi pinjaman untuk melepaskan penggunaan dana itu yang disebut interest rate. Dalam pandangan Islam uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Uang merupakan flow concept yang harus selalu berputar dalam perekonomian yang akan menyebabkan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian (Andri Soemitra, 2010 : 202-205).
Untuk memenuhi likuiditas bank-bank Islam memerlukan akses ke pasar uang. Jika bank memiliki kelebihan likuiditas ia dapat menggunakan instrument pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan bila kekurangan likuiditas ia dapat menerbitkan instrument yang dapat dijual guna mendapatkan dana tunai Namum ada perbedaan mendasar antara pasar uang konvensional dengan pasar uang syariah, yaitu pada mekanisme penerbitan. Pada pasar uang konvensional, intrument yang diterbitkan adalah instrument utang yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas perhitungan bunga; sedangkan pasar uang syariah lebih kompleks dan mendekati mekanisme pasar modal, yaitu transaksi keuangan di pasar uang syariah dilandasi oleh akad Mudharabah, Musyarakah, Qardh, wadi’ah, jua’lah, al bai’ dan Al Syarf  tergantung pada kesepakatan pihak yang terkait dan kebutuhan masing-masing (Andri Soemitra , 2010 : 203)
1.        Operasi Moneter Syariah
Pelaksanaan Operasi Moneter Syariah (OMS) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia No 10/36/2008 tentang Operasi Moneter Syariah yang merupakan pengejawantahan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dalam rangka mendukung tugas Bank Indonesia untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Pencapaian target operasional tersebut dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan syariah melalui kontraksi moneter atau ekspansi moneter, yang dapat berupa :
1).  Kecukupan likuiditas perbankan syariah dapat berupa target uang primer atau komponennya yang terdiri dari uang kartal yang ada di bank dan masyarakat, dan saldo giro bank dalam rupiah di Bank Indonesia.
2)        Variabel lain yang ditetapkan Bank Indonesia yaitu berupa tingkat imbalan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah  
Dalam rangka memelihara kestabilan nilai rupiah, pemerintah melalui Bank Indonesia (selanjutnya disingkat BI) memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah  yang disebut  Operasi Moneter Syariah ( selanjutnya disingkat OMS ). OMS  dilaksanakan melalui kegiatan Operasi Pasar Terbuka (selanjutnya singkat OPT ) dan Penyediaan Standing Facilities berdasarkan prinsip syariah.
1.1.   Operasi Pasar Terbuka ( OPT ) syariah
Operasi Pasar Terbuka ( OPT ) Syariah adalah kegiatan transaksi pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh B I dengan bank syariah atau pihak lain dalam rangka OMS, dilakukan secara berkala  dan dapat juga dilakukan sewaktu-waktu bila perlu. OPT dilakukan melalui mekanisme lelang dengan cara , antara lain :
-          B I menerbitkan SBIS yang merupakan surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah.
-          Jual beli surat berharga rupiah yang memenuhi prinsip syariah  meliputi SBIS, Surat Berharga Syariah Nasional ( selanjutnya disingkat SBSN), surat-surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. 
Jula-beli surat berharga dalam rupiah dapat dilakukan dengan cara antara lain:
a.       Pembelian secara lepas (outright buying) yaitu transaksi pembelian surat berharga oleh BI tanpa kewajiban untuk menjual kembali.
b.      Penjualan secara lepas (outright selling), yaitu transaksi penjualan surat berharga oleh BI tanpa kewajiban untuk membeli kemabli.
c.       Penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo), yaitu transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada BI dengan kewajiban membeli kembali sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati.
d.      Pembelian secara bersyarat (reverse repo), yaitu transaksi pembelian bersyarat surat berharga oleh bank dari BI dengan kewajiban menjual kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
1.2.       Standing Facilities  
Standing Facilities Adalah fasilitas yang disediakan oleh BI kepada bank syariah dalam rangka OMS melalui mekanisme lelang dengan cara :
a.       Penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility) antara lain dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)
b.      Penyediaan fasilitas pembiayaan (financing facility), antara lain dalam  bentuk repo surat berharga dalam rupiah dan pemberian pinjaman oleh BI kepada bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing)
Pelaksanaan kebijakan moneter melalui  Operasi Pasar Terbuka (channel for implementing policies) untuk bank konvensional dengan tujuan kontraksi moneter, BI  menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sedangkan bagi bank syariah, BI menggunakan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Untuk tujuan ekspansi moneter, BI menggunakan Surat Berharga Pasar Uang  (SBPU) untuk bank konvensional atau Surat Berharga Pasar Uang dengan prinsip syariah untuk bank syariah (Andri Soemitra , 2010 : 206). 
Para peserta pasar uang adalah lembaga keuangan, perusahaan besar, lembaga pemerintah dan individu yang memerlukan dana jangka pendek dan biasanya pembelian surat-surat berharga pasar uang hanya didasarkan kepada kepercayaan semata, karena surat berharga pasar uang biasanya tanpa jaminan (Andri Soemitra, 2010 : 207).
2.         Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS)
Perkembangan  perbankan  syariah  yang  semakin  pesat memerlukan  pengelolaan  likuiditas  dan  pasar  uang  antarbank berdasarkan prinsip syariah yang lebih likuid dan efisien. Sedangkan Instrumen  pasar  uang  antarbank  berdasarkan  prinsip syariah  yang  ada  saat  ini  yang menggunakan  akad mudharabah atau Investasi Mudhrabah Antarbank (IMA) belum  dapat  sepenuhnya  memenuhi  kebutuhan  pengelolaan likuiditas perbankan syariah, sehingga perlu  dibuka  kemungkinan  untuk menggunakan  instrumen  pasar  uang  antar  bank  berdasarkan prinsip syariah selain akad mudharabah (IMA). Berdasarkan  pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah melalui Peraturan Bak Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank dengan Prinsip Syariah merasa perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan  tentang  Pasar  Uang  Antarbank  Berdasarkan  Prinsip Syariah.
 Pasar Uang Antarbank syariah ( selanjutnya disingkat  PUAS ) Adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Instrument PUAS adalah instrument yang diterbitkan oleh Bank syariah atau UUS digunakan sebagai sarana transaksi PUAS yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana investasi antarbank syariah, karena bank syariah tidak diperkenankan menanam dana pada bank konvensional untuk menghindari pemanfaatan dana yang akan menghasilkan bunga. Peserta PUAS adalah bank syariah dan bank konvensional, tetapi bank konvensional hanya dapat menanamkan dananya. Penerbitan instrument PUAS wajib mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan instrument PUAS kepada Bank Indonesia.
            Bank syariah dan Unit Usaha Syariah dapat melakukan penempatan  dana  dan  atau  penerimaan  dana  dengan  menggunakan  instrumen PUAS yang  ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebelum mengajukan permohonan penerbitan instrument PUAS kepada Bank Indonesia terlebih dahulu wajib memperoleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional ( DSN ) tentang kesesuaian instrument PUAS dimaksud dengan prinsip syariah. Setelah Bank  Indonesia  menyetujui  Instrumen  PUAS  dimaksud, Bank  Indonesia mengatur  Instrumen PUAS  tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bank syariah atau UUS lainnya dapat  menerbitkan  Instrumen  PUAS  sejak  Bank Indonesia  menerbitkan  Surat  Edaran  Bank  Indonesia.
Bank  Syariah  atau  UUS  dapat menerbitkan  Instrumen  PUAS  yang  sudah  diatur  dalam  Surat  Edaran  Bank Indonesia  tanpa  perlu  mengajukan permohonan terlebih dahulu. Bank  Indonesia  mengatur  jenis  Instrumen  PUAS  yang  dapat    diperdagangkan sebelum jatuh waktu. Jenis  dan  tata  cara  perdagangan  Instrumen PUAS  diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Untuk mendukung kelancaran lalu lintas pembayaran antar bank serta pelaksanaan PUAS, transaksi pembayaran dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada Bank Indonesia.
3.        Instrumen Pasar Uang Syariah
Jenis-jenis instrument pasar uang yang ditawarkan dalam system konvensional di Indonesia antara lain Sertifikat Bank Indonesia ( SBI ), Pasar Uang Antar Bank ( PUAB ), Surat Berharga Pasar Uang ( SBPU ), Sertifikat Deposito, Commercial paper, Repurchase Agreement, Banker’s acceptance, Promes dan wesel. Sedangkan Instrument Pasar Uang dengan prinsip syariah dalam Operasi Moneter Syariah dalam rangka pengenadalian moneter yang pelaksanaannya melalui kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT ) dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( SBIS ), Repurchase Agreement (Repo) SBIS, Surat Berharga Syariah Negara ( SBSN ),  Repurchase Agreement (Repo) SBSN, Pasar Uang Antarbank syariah (PUAS), Surat Berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.    
3.1.     Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( SBIS )
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (selanjutnya disingkat SBIS) diterbitkan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 merupakan surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan akad Ju’alah. SBIS merupakan salah satu instrument Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter, diterbitkan melalui mekanisme lelang.  SBIS diterbitkan tanpa bunga tetapi diberikan imbalan pada saat jatuh tempo dengan karakteristik sebagai berikut :
a.                Satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b.               Berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan;
c.                Diterbitkan tanpa warkat (scripless);  tetapi dengan meggunakan sarana BI-SSSS ( Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System ). BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk  penatausahaannya dan penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS  ( Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement ).
d.               Dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
e.                Tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
f.                 Bank  Indonesia  menetapkan  dan  memberikan  imbalan  atas SBIS  yang diterbitkan.
g.                Bank  Indonesia  membayar  imbalan  pada saat jatuh waktu
h.               Bank Indonesia menerbitkan SBIS  melalui mekanisme lelang.
SBIS dapat diagungkan kepada Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS, Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas pembiayaan jangka pendek, atau fasilitas lainnya
3.2.   Repurchase Agreement (Repo) SBIS
Yang dimaksud dengan penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/Repo) adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh bank syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (Pasal 7 huruf c Peraturan Bank Indonesia No 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah). Transaksi Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dengan agunan SBIS (collateralized borrowing).
Repo SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Hanya dapat diajukan kepada Bank Indonesia
b.      Menggunakan akad qardh yang diikuti rahn
c.       Berjangka waktu 1 (satu) hari kerja
d.      Diberikan paling banyak sebesar nilai SBIS yang diagunkan
e.       Dibuka mulai pukul 16.00 wib- pukul 17.oo wib (Andri Soemitra, 2010 :  220)
Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah  yang mengajukan repo SBIS harus menanda tangani Perjanjian penggunaan SBIS dalam rangka Repo SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia serta wajib memiliki saldo Rekening Surat Berharga dan Saldo Giro yang cukup untuk memenuhi kewajiban penyelesaian Repo SBIS.
3.3.            Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah ( FLIS )
Dalam praktik operasional, instrumen likuiditas diatur oleh Bank Indonesia dalam berbagai bentuk Peraturan Bank Indonesia, seperti Peraturan Bank Indonesia No 11/30/2009 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari berdasarkan Prinsip Syariah (selanjutnya disingkat FLIS). FLIS atau Fasilitas Likuiditas Intrahari berdasarkan Prinsip Syariah adalah fasilitas pendanaan yang disediakan BI kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta system Bank Indonesia Real Time Gross Settlement ( selanjutnya disingkat BI-RTGS) dan System Kliring Nasional Bank Indonesia (selanjutnya disingkat SKNBI) yang dilakukan dengan cara repurchase agreement (selanjutnya disingkat repo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan.  Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (selanjutnya disingkat FLIS BI RTGS) digunakan untuk mengatasi kesulitan bank yang terjadi dalam operasional sehari-hari. Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia ( selanjutnya disingkat FLIS SKNBI) digunakan untuk mengatasi kesulitaan pendanaan bank yang terjadi pada saat penyelesaian akhir atas hasil kliring debet.
FLIS tersebut harus didukung oleh jaminan surat-surat berharga, seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( SBIS ).
3.4.            Surat Berharga Syariah Negara ( SBSN )
Adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan Undang-undang No 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Surat Berharga Syariah Negara (selanjutnya disingkat SBSN) sebagai bukti atas penyertaan terhadap asset negara dalam mata uang rupiah. Settlement ini dapat dibeli melalui pasar perdana dan dapat juga melalui pasar sekunder. Bank Indonesia melakukan settlement SBSN berdasarkan penetapan hasil penjualan oleh Menteri. Perhitungan harga settlement per unit SBSN yang diterbitkan dilakukan dengan cara penetapan harga yang tercantum dalam memorandum informasi  yang diterbitkan oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang (Andri Soemitra, 210 : 221-222)

3.5.            Repurchase Agreement (Repo ) SBSN 
Adalah transaksi penjualan SBSN oleh Bank syariah kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka standing facilities syariah. Repo SBSN memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Menggunakan akad al bai’ (jual-beli) yang disertai dengan al wa’ad (janji ) oleh Bank syariah kepada Bank Indonesia dalam dokumen terpisah untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati
b.      Berjangka waktu paling lama 14 hari kalender
3.6.         Surat Berharga yang berkualitas Tinggi dan mudah dicairkan
Adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Badan Hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga peringkat yang diakui Bank Indonesia.  
G.       Analisis  Kuantitatif Kecukupan  Dana  Likuiditas
1.         Rasio Likuiditas Bank Syariah Mandiri
Berdasarkan penelitian terhadap laporan keuangan atau Neraca publikasi BSM pada akhir tahun 2011, tampak Cadangan likuiditas BSM (Bank Syariah Mandiri) pada rekening    kas, Giro wadi’ah BI dan Sertifikat  Wadi’ah BI, simpanan pada Bank-bank lain serta Surat-surat berharga yang dimiliki yang berjumlah Rp 10.702 milyar.
Rekening Sertifikat wadi’ah BI seperti yang tercantum dalam Neraca BSM adalah cadangan likuiditas yang disamakan dengan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS ) sesuai Peraturan BI Nomor 10/11/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Andri Soemitra (2010 : 219) menyatakan bahwa, Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan tetap berlaku dan tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia sampai jatuh waktu. Instrument-instrument tersebut bebas dari bunga dan dapat diagunkan pada BI untuk menutup kekurangan likuiditas bank syariah.
Amir Mahmud & Rukmana (2010 : 94) mengatakan bahwa dalam menganalisis perbandingan kinerja penyaluran dana masyarakat pada perbankan  dilihat dari aspek likuiditas dan solvabilitas. Aspek likuiditas  menggunakan analisis rasio likuiditas berupa Financing to Deposit Ratio (selanjutnya disingkat  F D R ) dan Cash Ratio ( CR ). Analisis rasio likuiditas merupakan analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek atau kewajiban yang sudah jatuh tempo.
1.1.   Financing to Deposit Ratio ( FDR )
Rasio pengukuran untuk menganalisis rasio likuiditas perbankan dapat menggunakan Financing to Deposit Ratio (FDR)  yaitu perbandingan antara total nilai pembiayaan yang diberikan (total financing) dan total  Dana Pihak Ketiga (selanjutnya disingkat DPK) ditambah ekuitas (total deposit).
Total dana yang disalurkan (total Financing) BSM  menurut neraca 31 Desember 2011 adalah jumlah dana yang disalurkan baik melalui bisnis murabahah, istishna, ijarah, qardh, mudharabah maupun musyarakah sebesar Rp 36.472 milyar ( lihat table 2 ), Sedangkan total deposit adalah penjumlahan DPK yang terdiri dari Giro Wadi’ah, Tabungan Wadi’ah, Tabungan Mudharabah, Deposito Mudharabah, kewajiban segera lainnya, kewajiban pada bank bank lain dan Pembiayaan/pinjaman yang diterima  sebesar Rp 43.871 milyar (table 1 ) dan Equitas Rp 3.069 milyar (table 1),  sehingga  FDR adalah Total Financing dibagi total DPK ditambah equitas sama dengan  
( 36.472 ) x 100 %  =     77,70 %.
( 43.871 + 3.069)

Rachmadi Usman (2012 : 174) mengutip Peraturan Bank Indonesia No 6/21/PBI/2004, yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No 8/23/PBI/2006, dan diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/23/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum (selanjutnya disingkat GWM) menyatakan bahwa setiap Bank Umum termasuk perbankan syariah diwajibkan memelihara GWM dalam rupiah maupun valuta asing. GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % dari DPK dalam rupiah dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara GWM dalam valuta asing sebesar 1 % dari DPK dalam valuta asing. Di samping itu, bagi bank umum syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah kurang dari 80 %, dan
-          memiliki DPK (dana pihak ketiga) lebih besar dari Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1 % dari DPK dalam rupiah
-          memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2 % dari DPK dalam rupiah
-          memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3 % dari DPK dalam rupiah
-          Khusus Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadp DPK  dalam rupiah sebesar 80 % atau lebih dan/atau memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 trilyun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM
Apabila ketentuan ini dirujuk pada FDR BSM 31 Desember 2011 sebesar 77,70 %, maka BSM harus menambah GWM sebesar 2 % (DPK rupiah sebesar Rp 43.871 milyar),  sehingga GWM rupiah  menjadi 7 % dari DPK rupiah  atau sebesar  Rp 3.070 milyar. Giro Wajib Minimum BSM yang tersedia pada BI ditampakkan dalam Neraca BSM 31 Desember 2011 pada rekening Giro Wadi’ah Bank Indonesia sebesar Rp 2.044 milyar, yang berarti BSM kekurangan GWM rupiah sebesar  Rp 1.026 milyar. Kekurangan GWM tersebut di back up dengan saldo kas sebesar Rp 1.053 miyar.
1.2. Cash Ratio
Cash Ratio adalah perbandingan antara aktiva lancar dengan passiva lancar. Menurut Rachmadi Usman (2012 :368) bahwa likuiditas merupakan kemampuan aset jangka pendek, kas dan secondary reserve dalam memenuhi kewajiban jangka pendek merupakan rasio penunjang. Aktiva lancar terdiri dari uang kas (tunai) pada bank BSM ditambah simpanan giro pada BI (giro wadi’ah Bank Indonesia) jumlahnya sebesar Rp 3.097 milyar. Passiva lancar adalah kewajiban yang segera dapat dibayar adalah dana DPK berbentuk wadi’ah terdiri dari Giro wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah, ditambah kewajiban segera lainnya dan kewajiban pada bank-bank lain, pembiayaan/pinjaman yang diterima, berjumlah sebesar Rp 6.833 milyar. Tabungan Mudharabah dan Deposito mudharabah tidak diperhitungkan sebagai kewajiban yang segera dibayar, karena merupakan simpanan atau dana investasi dari nasabah pada bank syariah. Dengan demikian Cash Ratio (CR) BSM adalah = 3.097x100/6.833 = 45,32 %. Persentase ini menggambarkan bahwa BSM termasuk likwid.
2.        Cadangan Likuiditas Bank Syariah Mandiri
Menurut Neraca BSM 31 Desember 2011  terdapat dana yang cukup besar untuk mem back up Dana Pihak Ketiga (DPK) selain dana kas dan GWM, yaitu Sertifikat Wadiah Bank Indonesia  berjumlah sebesar Rp 4.858 milyar, simpanan pada bank lain sebesar Rp 230 milyar, dan Surat Berharga yang dimiliki sebesar Rp 2.517 milyar. Dana ini merupakan dana cadangan likuiditas BSM sebesar Rp 10.702 milyar, sedangkan Dana Pihak Ketiga yang segera dapat dibayar hanya berjumlah Rp 6.833 milyar, Sehingga persentase Dana Cadangan Likuiditas terhadap DPK yang segera dibayar adalah Rp 10.702 milyar dibagi Rp 6.833 milyar adalah sebesar 156,62 %. Cadangan likuiditas ini dianggap terlalu tinggi dan berdampak kurang baik dari segi perolehan keuntungan usaha. Hal ini berarti bahwa terlalu besar dana pihak ketiga yang belum disalurkan kepada masyarakat. Tabel 1, 2 dan 3 berikut menunjukkan angka-angka neraca publikasi 31 Desember 2011.
Tabel 1
JUMLAH DANA MASYARAKAT YANG DIHIMPUN
( DALAM MILYARAN RUPIAH)
             JENIS DANA                                            JJ
RUPIAH
Giro Wadi’ah
4.584
Tabungan Wadi’ah
512
Tabungan Mudharabah
           13.513                                   1133
Deposito Mudharabah
23.525
Kewajiban segera lainnya
618
Kewajiban pada Bank Lain
369
Pembiayaan/pinjaman diterima
750
Equitas
3069
Total
46.940
                                Sumber data : Neraca publikasi 31-12-2011 melalui internet telah diolah
                                                               yang diakses tgl 8-1-2013
Tabel 2
JUMLAH PEMBIAYAAN YANG DISALURKAN
(DALAM MILYARAN RUPIAH)
             JENIS PEMBIAYAAN                                              JJ
RUPIAH
Murabahah
19.635
Istishna
80
Ijarah
                  265                                    265
Pembiayaan (Mudharabah)
9.963
Qardh
6.529
Total
36.472
                                Sumber data : Neraca publikasi 31-12-2011 melalui internet telah diolah
                                                                yang diakses tgl 8-1-2013
Tabel 3
DAFTAR DANA CADANGAN LIKUIDITAS
(DALAM MILYARAN RUPIAH)
             JENIS PENEMPATAN                                            JJ
RUPIAH
Kas
1.053
Giro Wadi’ah Bank Indonesia
2.044
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
4.858
Bank Bank Lain
230
Surat Berharga Yg Dimiliki
2.517
Total
10.702
                                Sumber data : Neraca publikasi 31-12-2011 melalui internet yang diakses
                                                                tgl 8-1-2013
H.        Kesimpulan
Bank Syariah Mandiri berdiri tahun 1999 merupakan konversi dari bank konvensional Bank Susilo Bakti yang dibeli oleh Bank Dagang Negara dan merupakan bank syariah kedua di Indonesia. Ditinjau dari segi dana masyarakat yang dapat dihimpun dan total asset, Bank Syariah Mandiri menduduki peringkat pertama di antara bank syariah dan peringkat 12 diantara 17 bank konvensional papan atas di Indonesia.
Berdasarkan analisa rasio likuiditas, berupa analisa kuantitatif Financing to Deposit Ratio ( FDR ) dan Cash Rasio ( CR ) terhadap laporan keuangan  31 Desember 2011, Bank Syariah Mandiri dikategorikan cukup baik dalam mengelola dana likuiditas, sehingga dapat menyelesaikan kewajiban-kewajiban jangka pendek yang segera harus dibayar. Namun bila dipandang dari segi keseluruhan cadangan likuiditas yang tersedia cukup besar (156,62 %), sehingga mengurangi porsi penyaluran dana atau pembiayaan usaha nasabah yang pada akhirnya mengurangi tingkat profitabilitas atau perolehan keuntungan sebagaimana yang tercermin pada analisa ROA dan analisa efisiensi Bank Syariah Mandiri  yang hanya menduduki peringkat 8 di antara bank syariah.
I.           S a r a n
a.       Sosialisasi secara intensip terhadap produk-produk bank syariah masih perlu dilakukan, mengingat masih banyak ummat muslim yang tidak mengenal tentang perbankan syariah apalagi produk-produknya.
b.      Hendaknya lebih ditingkatkan bisnis bagi hasil (profit and loss sharing) dari pada jual beli (murabahah) misalnya bisnis al Mudharabah dan Al Musyarakah.
c.       Bisnis As-Salam dan Istishna masih perlu ditingkatkan. 







DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman  Azwar  Karim.  2008.  Bank  Islam  Analisis  Fiqih  dan  Keuangan.  RajaGrafindo     Persada. Jakarta.
Afzalur Rahman. Economic Doctrines of Islam. Diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin. Doktrine Ekonomi Islam, Jilid 4.1996. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
Amir Mahmud dan Rukmana. 2010. Bank syariah. Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Andri Soemitra.2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Boedi Abdullah.2011. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. CV. Pustaka Setia. Bandung.
Hasan Aedy. 2007. Indahnya Ekonomi Islam. Alfabeta. Bandung.
Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing.  Mizan Pustaka. Bandung
Ismail. 2011. Perbakan Syariah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
M. Arifin Hamid.2007.Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia.Prospektif Sosia-Yuridis. Elsas. Jakarta
M. Nur Rianto Al Arif. 2010. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Alfabeta. Bandung
Muchdarsyah Sinungan. 1987. Uang dan Bank. Bina Aksara.Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio. 2001. Bank syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani Jakarta. 
Rahmadi Usman. 2012.Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Sinar Grafika.Jakarta
Suhrawardi K.Lubis dan Farid Wajdi.2012. Hukum Ekonomi Islam. Sinar Grafika. Jakarta
Umaer Chapra dan Tariqullah Khan. 2008. Regulasi & Pengawasan Bank syariah. Bumi Akasara. Jakarta.




SYSTEM PENGENDALIAN DANA LIKUIDITAS
BANK SYARIAH MANDIRI

D
I
B
U
A
T

Oleh
Drs. H. Tadjuddin Malik, SH.MH
Polewali Mandar
2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar