Jumat, 03 Januari 2014

System Pengendalian Dana Likuiditas Bank Syariah



SYSTEM PENGENDALIAN DANA LIKWIDITAS
BANK SYARIAH
1.     Pendahuluan
Kegiatan usaha Bank Syariah secara umum meliputi kegiatan menghimpunan dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke dalam dunia usaha, menyimpan dalam bentuk uang kas dan giro pada Bank Indonesia sebagai cadangan serta dalam bentuk surat-surat berharga yang mudah dicairkan. Dana dihimpun melalui produk-produk Bank Syariah yang dikenal dengan istilah rekening giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah, Deposito mudharabah dan produk lain yang sesuai dengan prinsip syariah, kemudian  disalurkan ke dunia usaha dalam bentuk produk murabahah (jual-beli), mudharabah (usaha bagi hasil), musyarakah (usaha penyertaan), ijarah (sewa-menyewa) dan jasa-jasa bank.
Dana yang dihimpun dari masyarakat tidak seluruhnya disalurkan ke dalam dunia usaha, melainkan hanya sebgian yang jumlahnya paling banyak sekitar 80 % dan sisanya di jadikan sebagai cadangan pembayaran kewajiban jangka pendek yaitu cadangan penarikan  dana dari rekening giro wadiah baik tunai maupun non tunai serta cadangam penarikan dana dari tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah yang akan jatuh tempo.
Cadangan Bank Syariah tersebut dapat berbentuk rekening giro di Bank Indonesia dan uang tunai di Bank Syariah yang bersangkutan yang disebut Dana Cadangan Likuiditas atau cadangan primer. Cadangan Bank Syariah dapat juga berupa surat-surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah (disingkat SBIS), Surat Berharga Syariah Negara (disingkat SBSN), Investasi Mudharabah Antarbank (disingkat  IMA), surat berharga Pasar Uang AntarBank Syariah (disingkat PUAS) dan surat-surat berharga lainnya yang berdasarkan prinsip syariah yang disebut cadangan sekunder. Cadangan-cadangan Bank Syariah tersebut perlu dikendalikan agar tidak terjadi mismatched dalam operasional sehari-hari. Penerimaan dana lebih kecil daripada pengeluaran dana suatu bank selama window


time dapat menyebabkan saldo negative rekening bank tersebut di Bank Indonesia (disingkat BI ). Apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat menyebabkan kesulitan pendanaan jangka pendek Bank Syariah tersebut.
Pengendalian Likuiditas Bank Syariah dimaksudkan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah untuk mengatur ketersediaan dana yang selalu siap untuk digunakan  dalam system pembayaran kewajiban jangka pendek. Usaha tersebut berupa pengelolaan dana pihak ketiga, berupa system penghimpunan dana, system penyaluran dana dan system penyediaan dana Cadangan Likuiditas guna memenuhi kewajiban jangka pendek.
Menurut Undang-undang Bank Indonesia, Bank Syariah dalam melakukan kegiatan usaha berada di bawah pengawasan Bank Sentral ( Bank Indonesia) yang mengatur ketentuan pemeliharaan dana likuiditas di Bank Indonesia yang disebut Giro Wajib Minimum  (disingkat GWM). Ketentuan pemeliharaan GWM di BI, di samping merupakan kebijakan moneter dalam rangka pengendalian uang yang beradar, juga berfungsi sebagai cadangan pembayaran kewajiban jangka pendek baik Bank Umum Konvensional (disingkat BUK) maupun Bank Umum Syariah (disingkat BUS). Ketentuan ini tertuang  dalam Undang-undang No 23/1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang No 3/2004 dan Undang Undang No 6 tahun 2009 antara lain menetapkan bahwa Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menyimpan dana di Bank Indonesia sebagai  simpanan wajib minimum ( Pasal 10 Undang-Undang Bank Indonesia No 23 tahun 1999 ) yang ketentuan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No 61/21/2004 yang diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No 8/23/PBI/2006, diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No10/23/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum  (GWM). Giro Wajib  Minimum dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % dari Dana Pihak Ketiga (disingkat DPK )  dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara Giro Wajib Minimum dalam valuta asing sebesar 1 % dari Dana Pihak Ketiga ( DPK ) dalam valuta asing.


Kewajiban jangka pendek pada umumnya dapat berupa kewajiban pembayaran tunai, kewajiban pembayaran transfer kredit melalui System Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (disingkat System BI-RTGS), dan kewajiban pembayaran net kliring debit, yaitu kewajiban yang timbul setelah diperhitungkan (off setting) antara total kliring debit masuk (kewajiban) dan total kliring debit keluar (hak) serta kliring kredit masuk (hak) dan kliring kredit keluar (kewajiban) di Kantor Pusat Bank Indonesia melalui system Kliring Nasional Bank Indonesia(disingkat SKNBI ).
Setiap hari Bank Syariah memerlukan ketersediaan dana likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajibannya, berupa saldo kas, saldo giro pada Bank Indonesia. Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), Investasi Mudharabah Antarbank ( IMA), dan surat berharga Pasar Uang Syariah lainnya adalah Surat-surat berharga yang  dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah (FLIS) dari Bank Indonesia guna menutupi kekurangan dana likuiditas Bank Syariah pada setiap saat selama window time atau jam operasional.
FLIS  disediakan oleh BI Untuk mendukung kelancaran system Pembayaran di Indonesia, sehubungan dengan telah diimplementasikannya system Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (disingkat system BI-RTGS) yang disebut FLIS-RTGS dan System Kliring Nasional Bank Indonesia (disingkat SKNBI) yang disebut FLIS-Kliring. FLIS tersebut harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaannya dan bilamana dana  FLIS tersebut tidak dapat diselesaikan pada waktu yang ditentukan, maka Bank Syariah atau Badan Usaha Syariah (disingkat BUS)  dan atau Unit Usha Syariah (disingkat UUS) dapat mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (PFJPS) dengan agunan surat-surat berharga syariah yang berjangka waktu 14 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari.
Ketersediaan Dana Likuiditas yang cukup  bagi bank termasuk Bank Syariah dianggap sangat penting karena :


a). Dana Likuiditas sangat berperan dalam bidang  operasional bank, baik pada bank konvensional maupun pada Bank Syariah. Sebuah bank tidak dapat menolak, atau menunda pembayaran  yang   diajukan   oleh   nasabah   kepadanya dengan alasan bank tidak memiliki dana yang cukup pada suatu saat. Setiap penarikan yang dilakukan oleh nasabah Bank Syariah khususnya giro wadi’ah, tabungan wadiah, pemberian pembiayaan yang sudah disetujui harus dipenuhi oleh Bank Syariah yang bersangkutan sesuai dengan  akad yang telah disepakati.
b). Dana Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat perolehan keuntungan suatu bank.
c). Dana likuiditas diperlukan untuk mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan nasabah giro wadiah dan tabungan wadiah, merealisasikan pembiayaan murabahah, mudharabah, ijarah, dapat memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi yang menarik dan menguntungkan.
d). Berdasarkan pengalaman, pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik yang besar maupun yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan karena ketidak-mampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Krisis moneter telah membuktikan hal ini, di mana beberapa bank swasta nasional kolep karena ramai-ramai nasabahnya menarik dananya dari bank yang bersangkutan.  
Kesulitan dana likuiditas adalah resiko yang potensial terjadi pada setiap lembaga keuangan bank pada umumnya, karena adanya penarikan yang cukup besar dari nasabah. Bank Syariah termasuk di antaranya yang potensial dari kemungkinan kesulitan ini, karena di satu sisi terjadi penarikan besar dari nasabah,  di sisi lain  dana  yang  telah  dihimpun  tertanam pada


kegiatan-kegiatan bisnis musyarakah, mudharabah, piutang murabahah, dan piutang ijarah, tidak mudah dicairkan dalam waktu singkat bila terjadi penarikan besar dari investor khususnya dari nasabah Giro Al-Wadi’ah dan nasabah Tabungan Al-wadiah.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Bank Syariah  menempatkan dana cadangan likuiditas yang relative besar pada SBIS, SBSN dan instrument Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), cadangan saham yang marketable seperti saham-saham pemerintah yang bebas bunga, atau saham-saham perusahaan besar bebas bunga yang mudah dicairkan guna menutupi kekurangan dana likuiditas.
Bagi bank-bank konvensional yang mengalami kesulitan dana likuiditas dalam operasional sehari-hari dapat menggunakan Pasar Uang dan Pasar Modal dengan berbagai instrument, seperti fasilitas diskonto (discount rate),  fasilitas Bank Indonesia (FASBI),Sertifikat Bank Indoensia (SBI), saldo Giro Wajib Minimum ( dana likuiditas ), Pagu Kredit, Operasi Pasar Terbuka. 
Berbeda halnya Bank Syariah yang mengalami kesulitan dana likuiditas, tidak dapat menggunakan semua instrument tersebut di atas, karena instrument tersebut tidak dapat melepaskan diri dari unsur bunga. Instrument yang dapat digunakan Bank Syariah hanyalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) Invesstasi Mudharabah Antarbank ( IMA ) dan instrument Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), serta   efek-efek (khusus saham-saham yang bebas bunga) dengan jalan merepokan (repurchace Agreement) kepada Bank Indonesia guna mendapatkan Fasilitas Intrahari Syariah (FLIS) atau Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah ( FPJPS).  Obligasi merupakan surat pengakuan hutang dan instrument lainnya tidak bisa digunakan oleh Bank Syariah karena instrument-intrument tersebut mengandung bunga.

2.     Dana Likuiditas Bank Syariah
a.     Cadangan Dana Likuiditas Bank Syariah
Bank  Konvensional  dan  Bank  Syariah  harus memelihara 

Likuiditas Wajib Minimum (Statutory Reserve Requirements) atau Giro Wajib Minimum sesuai ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan BI mewajibkan agar setiap bank umum menyediakan sejumlah minimum dana yang wajib disimpan pada rekening gironya di BI. Jumlah minimum dana giro yang wajib dipelihara dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang  telah dihimpun oleh bank yang bersangkutan. Persentase tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia. Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan salah satu Alat likuid suatu bank. Alat likuid selain GWM adalah saldo kas  ditambah sejumlah surat-surat berharga pasar uang dan pasar modal.
Rachmadi Usman (2012 : 174) mengutip Peraturan Bank Indonesia No 6/21/PBI/2004, yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No 8/23/PBI/2006, dan diubah lagi dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/23/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum  (GWM) menyatakan bahwa setiap Bank Umum termasuk Bank Syariah diwajibkan memelihara GWM dalam rupiah maupun valuta asing. GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara GWM dalam valuta asing sebesar 1 % dari DPK dalam valuta asing.
Di samping itu, bagi bank umum syariah yang memiliki rasio pembiayaan terhadap DPK dalam rupiah kurang dari 80 %, dan
-          memiliki DPK lebih besar dari Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1 % dari DPK dalam rupiah
-          memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2 % dari DPK dalam rupiah
-          memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3 % dari DPK dalam rupiah

-          Khusus Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan terhadap DPK  dalam rupiah sebesar 80 % atau lebih dan/atau memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 trilyun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM
GMW yang harus disediakan suatu bank umum merupakan salah satu alat kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, di samping sebagai cadangan pembayaran kewajiban jangka pendek suatu bank. GWM ini juga  berguna untuk mengukur kemampuan suatu bank dalam membayar kembali simpanan nasabahnya pada saat ditarik dan menggunakan alat likuid yang dimilikinya.
Cadangan Likuiditas seringkali dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cadangan primer (primary reserves) dan cadangan sekunder (secondary reserves). Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk menjaga keamanan pendanaan bank peserta system BI-RTGS dan SKNBI dapat saja mewajibkan setiap bank memelihara kedua jenis cadangan tersebut, namun dalam praktik, meskipun bank tidak diwajibkan memelihara cadangan sekunder, bank biasanya tetap memiliki sejumlah dana cadangan sekunder untuk menjaga bila dana cadangan primer bank tersebut tidak mencukupi kebutuhan dana likuiditas bank dalam operasionalnya sehari-hari.
Cadangan sekunder dimaksudkan sebagai back up apabila cadangan primer tidak mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan dana likuiditas atau penarikan yang dilakukan oleh nasabah, baik melalui penarikan tunai, transfer kredit, maupun melalui kliring. Cadangan sekunder dapat digunakan untuk mendapatkan dana dari pasar uang dan pasar modal atau bantuan pendanaan dari Bank Indonesia berupa FLIS dan FPJPS. Cadangan sekunder ini biasanya dalam bentuk sekuritas atau surat-surat berharga yang sangat likuid dan berkualitas tinggi, mudah diuangkan dan memiliki risiko rendah, misalnya Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional 


( SBSN) dan Surat Perbendaharaan Negara (Treasury Bills) untuk bank konvensional.
Bila bank dalam operasional sehari-harinya mengalami mismatched atau kesulitan dana likuiditas, pada umumnya mereka mendapatkan dana dari Pasar Uang.  M. Syafii Antonio , (2001 : 186 )  mengatakan  bahwa  tanpa  adanya fasilitas pasar
uang, bank konvensional pun akan menghadapi masalah, mengingat pada umumnya bank sulit menghindari posisi keuangan yang mismatched. Untuk memanfaatkan dana yang idle, bank dapat melakukan investasi jangka pendek di pasar uang. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dana likuiditas jangka pendek, bank juga dapat memperoleh di pasar uang (Pertaruran BI no 2/8/PBI/2000).
Dalam kaitan pasar uang, Bank Syariah menghadapi kendala, mengingat surat-surat berharga di pasar keuangan konvensional berbasis system bunga (kecuali saham perusahaan syariah). Masalah ini berdampak negative pada pengelolaan dana likuiditas, sehingga Bank Syariah terpaksa hanya memusatkan portofolionya pada aktiva jangka pendek yang terkait dengan perdagangan (murabahah). Hal ini berlawanan dengan keperluan investasi dan pembangunan ekonomi.
Pinjam-meminjam uang dengan imbalan keuntungan dilarang, Pendapatan atau keuntungan hanya dapat diperoleh dengan bekerja melalui kegiatan perniagaan yang tidak dilarang oleh Islam. Untuk menghindari pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh syariah Islam tersebut, piranti keuangan yang diciptakan harus didukung oleh aktiva, proyek aktiva atau transaksi jual-beli yang berlatarbelakang halal, yaitu dengan membentuk bukti penyertaan baik dalam bentuk penyertaan musyarakah maupun dalam bentuk penyertaan mudharabah (M Syafii Antonio, 2001 : 189).
Pengendalian dana likuiditas Bank Syariah merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah untuk mengelola ketersediaan dana yang cukup yang dapat digunakan  dalam system pembayaran guna memenuhi kewajiban jangka pendek Bank Syariah. Ketersediaan dana yang dianggap cukup bilamana:

1). Dana giro Bank Syariah yang tersedia di Bank Indonesia dapat menutupi kewajiban pembayarannya melalui System pembayaran kewajiban jangka pendek meliputi system Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI RTGS) dan System Kliring Nasional Bank Indonesia ( SKNBI )
2). Bilamana terjadi mismatched antara penerimaan dana dan pengeluaran dana pada waktu tertentu, baik melalui system BI-RTGS maupun SKNBI dapat ditutupi dari dana yang diperoleh dari pasar uang syariah dan atau dengan bantuan FLIS (Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah) atau Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah ( FPJPS ) dari Bank Indonesia dengan jaminan surat-surat berharga yang dimiliki oleh Bank Syariah tersebut.
Suatu teori yang sdikenal di bidang perbankan mengatakan bahwa, semakin tinggi persentase rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada pada suatu bank, maka semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank tersebut, namun demikian akan mempengaruhi produktivitas bank yang bersangkutan. Pendapat ini berasumsi bahwa, apabila kita menyimpan dana kas dan saldo giro pada BI serta memiliki surat-surat berharga yang nilainya cukup tinggi, dan tidak terjadi penarikan dana secara besar-besaran dari nasabah (rush), maka bank akan selalu mampu memenuhi kewajiban jangka pendek, namun di sisi lain dana yang diparkir yang cukup besar sebagai alat likuid akan mengurangi perolehan pendapatan. Alasannya sangat sederhana, yaitu bila Dana Pihak Ketiga (DPK) suatu bank diparkir lebih besar sebagai alat likuiditas, maka dana yang ditempatkan pada dunia usaha yang diharapkan dapat memberikan perolehan pendapatan lebih besar semakin kecil. Bila dana yang ditempatkan pada dunia usaha semakin kecil, maka perolehan pendapatan bank juga semakin kecil,  karena  dana kas tidak mendatangkan hasil, saldo giro di BI hanya mendapatkan insentif yang  sangat kecil. Surat-surat berharga termasuk surat berharga syariah meberikan pendapatan yang lebih rendah daripada perolehan pendapatan dari hasil bisnis dunia usaha.

Namun teori ini tidak selalu benar karena perolehan pendapatan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian suatu Negara khususnya kondisi perkreditan nasabah atau pembiayaan yang diberikan.
Sesungguhnya perolehan pendapatan bank dipengaruhi oleh beberapa faktor.  Salah satunya adalah kendala operasional yang dihadapi, khusus Bank Syariah adalah kesulitan mengendalikan dana likuiditas secara efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala antara lain :
a). Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana deposito yang diterima dari nasabah. Dana-dana tersebut terakumulasi dan menganggur untuk beberapa hari dalam bentuk dana kas, sehingga mengurangi  pendapatannya.
b). Kesulitan mencairkan dana investasi yang telah ditanam  seperti investasi pada Mudharabah dan  musyarakah pada saat terjadi penarikan dana dari nasabah giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah dalam situasi kritis, menyebabkan Bank Syariah menahan alat likuiditasnya dalam jumlah besar dibandingkan dengan rata-rata bank konvensional. Kondisi ini pun menyebabkan berkurangnya jumlah pendapatan Bank Syariah.
M. Syafii Antonio (2001 :186) berpendapat bahwa tugas utama manajemen bank, termasuk Bank Syariah adalah memaksimalkan laba, meminimalkan resiko dan menjamin tersedianya dana likuiditas yang cukup. Manajemen tidak dapat semaunya menarik nasabah untuk menyimpan dananya di bank tanpa memberikan keyakinan kepada nasabah bahwa investasi dana itu menguntungkan dan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh nasabah  atau pada saat jatuh tempo.
Seseorang akan tertarik menanamkan dananya pada instrument keuangan suatu bank apabila mereka yakin bahwa instrument tersebut dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi pendapatan efektip dari investasinya. M. Syafii Antonio (2001 :186) mengatakan bahwa instrument keuangan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut :


-          Pendapatan yang baik (good return)
-          Risiko yang rendah (low risik)
-          Mudah dicairkan (redeemable)
-          Sederhana (simple)
-          Fleksibel
 
b. Penggunaan Dana Likwiditas Bank Syariah
Penggunaan dana likuiditas berkaitan dengan system pembayaran tunai, system transfer dana antarbank melalui System BI-RTGS dan System Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI ).
1). Pembayaran Tunai kepada nasabah Bank Umum Syariah
Setiap penarikan tunai kepada nasabah Bank Syariah dalam jumlah besar menyebabkan Bank syariah harus menarik dana giro dari Bank Indonesia dalam bentuk uang tunai (uang kertas) karena rata-rata perbankan baik konvensional maupun syariah tidak akan menyimpan uang tunai di kantor cabangnya dalam jumlah yang besar karena di anggap idle money atau uang tunai yang tidak menghasilkan.
Setiap cabang bank, baik Bank Umum Konvensional ( BUK) maupun Bank Umum Syariah ( BUS ) menetapkan batas maksimum uang yang harus ada pada setiap cabangnya yang jumlahnya dihitung berdasarkan rata-rata saldo kas ideal per hari cabang yang bersangkutan tanpa memperhitungkan penarikan besar dari nasabahnya. Kelebihan batas maksimum saldo kas cabang bank yang bersangkutan setiap hari harus di remis ke cabang lainnya yang kekurangan saldo kas atau disetor ke Bank Indonesia.
Semua Bank Umum tidak akan menyimpan uang tunai di kantor cabang atau kantor pusat dalam jumlah yang melebihi rata-rata maksimum kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam bentuk saldo kas, karena di samping idle money juga mendapat beban biaya asuransi cash in safe, cash in cashier’s box yang pada gilirannya akan mengurangi perolehan laba bank.

Dengan demikian, cabang-cabang BUK dan atau BUS dapat melakukan setor dan tarik dana dari Bank Indonesia setiap hari yang akan mempengaruhi jumlah dana likuiditas yang ditampung dalam rekening giro bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. 
2).  Pembayaran  Melalui System Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (System BI RTGS)
System Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI-RTGS) adalah suatu system transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual (Peraturan Bank Indonesia No. 10/6/PBI/2008 Pasal 1 angka 1).
Peserta adalah bank dan pihak lain yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh penyelenggara (Peraturan Bank Indonesia No 10/6/PBI/2008 Pasal 1 angka 3).
System BI RTGS adalah suatu transfer kredit yang proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran dilakukan per transaksi  dan bersifat real time (seketika). Rekening peserta pengirim dapat didebit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran, dan sebaliknya rekening penerima dapat juga dikredit berulang kali sesuai dengan penerimaan pembayaran dari peserta pengirim.
Kemampuan system BI-RTGS untuk melakukan transfer secara real time atau seketika dan terus menerus selama window time, akan mampu mengurangi atau mengeleminir resiko-resiko dalam proses settlement karena transaksi akan dijalankan bila saldo rekening giro peserta pengirim (bank pengirim) di Bank Indonesia mencukupi.
System Pembayaran Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI-RTGS) di Indonesia baru diterapkan sejak 17 November 2000 dan dinilai sangat berperan dalam transaksi pembayaran bernilai besar yang potensial mengandung resiko systemik.


Dalam System Real Time Gross Settlement (System BI RTGS), Peserta pengirim mentransmisikan transaksi pembayaran melalui terminal RTGS di kantornya kepada Pusat  Pengolahan  System  BI - RTGS ( R T G S  Central Computer ) di Bank Indonesia. Jika proses settlement pada BI berhasil, maka secara otomatis melalui elektronik dana transfer kredit diteruskan kepada peserta penerima.
Keberhasilan proses settlement tergantung pada kecukupan saldo giro peserta pengirim pada BI. Bila dana rekening giro bank peserta pengirim dan atau Bank Syariah tidak mencukupi pada saat proses settlement, maka transaksi pembayaran terhambat dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tumpukan antrian transaksi yang akan diproses atau ditunda pelaksanaannya.
Bila Bank Syariah mengalami kesulitan pendanaan dalam rangka pelaksanaan system BI-RTGS karena transfer kredit dari bank lain yang harus diterima belum masuk ke rekeningnya di BI, sedangkan transfer kredit keluar (kepada bank lain) sudah harus dilaksanakan, maka Bank Syariah dapat menggunakan Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah - Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (disingkat FLIS-RTGS). FLIS-RTGS ini digunakan untuk mengatasi kesulitan Bank Syariah yang terjadi dalam operasional sehari-hari.  
Transaksi yg dapat dilakukan dalam system BI-RTGS pada prinsipnya berupa transfer kredit yaitu transaksi yg dilakukan oleh peserta pengirim untuk mendebit rekening gironya di Bank Indonesia dan mengkredit rekening giro peserta penerima di Bank Indonesia. Peserta pengirim  tidak dapat melakukan pendebitan terhadap rekening penerima kecuali peserta pengirim adalah Bank Indonesia. BI sebagai peserta system BI-RTGS di samping sebagai penyelenggara dapat melakukan transfer debit atau Bank Indonesia sebagai peserta selain dapat melakukan transfer kredit, juga dapat melakukan transfer debit. BI dapat melakukan pendebitan rekening giro peserta penerima dan mengkredit rekening lainnya di Bank Indonesia.

Transaksi transfer debit yang dapat dilakukan oleh B I hanya   transaksi   dalam  rangka penyelesaian kewajiban peserta kepada BI atau kepada Pemerintah RI atau koreksi atas transaksi utk kepentingan nasabah peserta yg diinput oleh BI.
3).   Pembayaran Melalui Kliring ( SKNBI )
Kliring adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE)  antar peserta kliring baik atas nama peserta  maupun  atas  nama  nasabah  peserta yang Perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu (Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia No 7/18/PBI/2005 tentang System Kliring Nasional Bank Indonesia). Warkat atau data keuangan elektronik dimaksud sebagai alat pembayaran bukan tunai yang diatur dalam Undang-undang.
Warkat kliring merupakan alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan melalui kliring. Jenis warkat yang dapat diperhitungkan dalam kliring adalah
-      Cek, Bilyet Giro ( BG )
-      Wesel bank untuk transfer
-      Surat Bukti Penerimaan Transfer
-      Nota debet
-      Nota kredit
System Kliring Nasional Bank Indonesia ( SKNBI )adalah system kliring Bank Indonesia meliputi kliring debit dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional. Kliring debit adalah kegiatan dalam system Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) untuk transfer debit. Kliring kredit adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer kredit (Pasal 1 angka 5,6,7 Peraturan Bank Indonesia No 7/18/PBI/2005). Pada prinsipnya dalam SKNBI, Penyelengara Kliring adalah Penyelengara Kliring Nasional (PKN ) yaitu Unit Kerja di Kantor Pusat Bank Indonesia.  Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) adalah Cabang-Cabang Bank Indonesia yang berada di daerah (di wilayah kliring), namun karena tidak semua daerah yang dapat menyelenggarakan kliring


lokal terdapat Cabang Bank Indonesia, maka atas penunjukkan Bank Indonesia terhadap salah satu bank umum yang ada di daerah ( di wilayah kliring) bersangkutan dapat menyelenggarakan Kliring Lokal.
Penyelenggaraan kliring menggunakan metode net settlement dalam penyelesaian akhir, artinya proses penyelesaian akhir transaksi-transaksi pembayaran dilakukan pada akhir suatu  periode dengan melakukan perhitungan (off setting ) antara kewajiban peserta dengan hak peserta, sehingga  hanya  ada satu net hak atau kewajiban yang akan disettle oleh BI untuk masing-masing rekening bank. Hal ini berbeda dengan system BI-RTGS yang menggunakan gross settlement dimana setiap transaksi diperhitungkan secara individual.
Dalam system kliring terdapat resiko pada akhir hari, yaitu bila suatu bank mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang cukup besar. Apabila jumlah kekalahan kliring melampaui saldo rekening bank peserta di Bank Indonesia, maka saldo rekening bank tersebut berbaki negative (overdraft)  yang pada gilirannya akan menyulitkan Bank Indonesia apabila bank yang bersangkutan tidak mampu menutup overdraft keesokan harinya.    
3.     Penanggulangan kekurangan Dana Likuiditas.
Untuk menanggulangi kesulitan pendanaan jangka pendek bank baik konvensional maupun Bank Syariah, bank dapat menggunakan Pasar Uang Antarbank. Di samping itu, Bank Indonesia menyediakan bantuan fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas Pendanan Jangka Pendek (FPJP) untuk bank konvensional, Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah ( FLIS )  dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) untuk Bank Syariah serta Standing Facilities dengan mensyaratkan bank menjaminkan surat-surat berharga yang bernilai dan berkualitas tinggi serta mudah dicairkan.
a. Dana Likuiditas dari Pasar Uang AntarBank Syariah
Pasar uang (money market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu dana berjangka waktu kurang dari satu tahun.

Dalam teori ekonomi, pasar uang bukanlah suatu tempat secara fisik untuk orang berjualan, namun diartikan secara luas,  abstrak dan tetap mencakup pengertian pertemuan antara permintaan dan penawaran. Apabila permintaan bertemu penawaran di pasar maka akan terjadi transaksi.  Transaksi merupakan kesepakatan antara apa yang diinginkan pembeli dan apa yang diinginkan penjual.
Transaksi pasar uang dilakukan secara OTC (Over The Counter), para dealer bekerja di dealing room bank masing-masing dan bertransaksi melalui berbagai jaringan komunikasi canggih seperti RMDS (Reuters Monitor Dealing System), broker voice mail, telex, faksimili (Andri Soemitra, 2010 : 205).
Harga dalam pasar uang konvensional ditentukan dalam bentuk persentase untuk jangka waktu tertentu yang diterima oleh pemberi pinjaman untuk melepaskan penggunaan dana itu yang disebut interest rate. Dalam pandangan Islam uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Uang merupakan flow concept yang harus selalu berputar dalam perekonomian yang akan menyebabkan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian (Andri Soemitra, 2010 : 202-205).
Untuk memenuhi likuiditas, bank-bank Islam memerlukan akses ke pasar uang. Jika suatu bank memiliki kelebihan dana likuiditas ia dapat menggunakan instrument pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan bila kekurangan dana likuiditas ia dapat menerbitkan instrument yang dapat dijual guna mendapatkan dana tunai.
Antara pasar uang konvensional dengan pasar uang syariah terdapat   perbedaan  yang  mendasar,  yaitu   instrument   yang
diterbitkan pada pasar uang konvensional, adalah instrument utang yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas perhitungan bunga; sedangkan pasar uang syariah lebih kompleks dan mendekati mekanisme pasar modal, yaitu transaksi keuangan di pasar uang syariah dilandasi oleh akad Mudharabah, Musyarakah, Qardh, wadi’ah, jua’lah, al bai’ dan Al Syarf  tergantung pada kesepakatan pihak yang terkait dan kebutuhan masing-masing (Andri Soemitra , 2010 : 203)

Perkembangan  bank  syariah  yang  semakin  pesat memerlukan  pengelolaan  dana likuiditas  dan  pasar  uang  antarbank berdasarkan prinsip syariah yang lebih likuid dan efisien. Instrumen  pasar  uang  antarbank  berdasarkan  prinsip syariah  yang  ada  saat  ini menggunakan  akad mudharabah atau Investasi Mudhrabah Antarbank (IMA) belum  dapat  sepenuhnya  memenuhi  kebutuhan  pengelolaan dana likuiditas Bank Syariah, sehingga perlu  dibuka  kemungkinan  untuk menggunakan  instrumen  pasar  uang  antar  bank  berdasarkan prinsip syariah selain akad mudharabah (IMA). Berdasarkan  pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank dengan Prinsip Syariah merasa perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan  tentang  Pasar  Uang  Antarbank  berdasarkan  Prinsip Syariah.
Pasar Uang AntarBank Syariah ( PUAS ) adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Instrument PUAS adalah instrument yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) digunakan sebagai sarana transaksi PUAS yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana investasi antarBank Syariah, karena Bank Syariah tidak diperkenankan menanam dana pada bank konvensional untuk menghindari pemanfaatan dana yang akan menghasilkan bunga. Peserta PUAS adalah Bank Syariah dan bank konvensional, tetapi bank konvensional hanya dapat menanamkan dananya, tidak diperkenankan mendapatkan dana dengan menerbitkan instrument Pasar Uang AntarBank Syariah ( PUAS ).
Penerbitan instrument PUAS wajib mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan instrument PUAS kepada Bank Indonesia. Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat melakukan penempatan  dana  dan  atau  penerimaan  dana  dengan  menggunakan  instrument PUAS yang  ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah  harus mengajukan permohonan penerbitan instrument PUAS kepada  Bank  Indonesia  yang  sebelumnya  wajib   memperoleh

fatwa dari Dewan Syariah Nasional ( DSN ) tentang kesesuaian instrument PUAS dimaksud dengan prinsip syariah. Setelah Bank  Indonesia  menyetujui  Instrumen  PUAS  dimaksud, Bank  Indonesia mengatur  Instrumen PUAS  tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bank Syariah atau UUS lainnya dapat  menerbitkan  Instrument  PUAS  sejak  Bank Indonesia  menerbitkan  Surat  Edaran  Bank  Indonesia.
Bank  Syariah  atau  UUS  dapat menerbitkan  Instrument  PUAS  yang  sudah  diatur  dalam  Surat  Edaran  Bank Indonesia  tanpa  perlu  mengajukan permohonan terlebih dahulu. Bank  Indonesia  mengatur  jenis  Instrumen  PUAS  yang  dapat    diperdagangkan sebelum jatuh waktu. Jenis  dan  tata  cara  perdagangan  Instrumen PUAS  diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
b.       Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah ( FLIS )
Menurut Peraturan Bank Indonesia No 11/30/PBI/2009, Fasilitas Likuiditas Intrahari berdasarkan Prinsip Syariah (FLIS) adalah fasilitas pendanaan yang disediakan BI kepada Bank Umum Syariah (BUS) dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dalam kedudukan sebagai peserta System BI-RTGS dan SKNBI. Permohonan FLIS oleh Bank Syariah dapat dilakukan dengan cara merepurchase (merepo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan
Penggunaan FLIS – RTGS dan FLIS- Kliring secara otomatis pada saat saldo rekening giro rupiah BUS atau UUS di BI tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing transaction).  FLIS-RTGS  digunakan  setiap  kali dana giro untuk  transaksi transfer kredit tidak mencukupi dan FLIS-Kliring digunakan pada saat perhitungan penyelesaian akhir (off setting) dan dana giro Bank Syariah  tidak mencukupi   atas penyelesaian akhir Kliring Debit.
Bila nilai surat berharga untuk FLIS-Kliring tidak cukup untuk menutupi kewajiban penyelesaian akhir kliring debit, maka nilai surat berharga untuk FLIS-RTGS yg tersedia secara otomatis

digunakan untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir kliring debeit. Dalam hal BUS atau UUS tidak menyelesaikan nilai FLIS sampai batas waktu penyelesaian FLIS yang ditetapkan, maka nilai FLIS yang tidak dapat diselesaikan diberlakukan sebagai transaksi repo dengan BI dengan jangka waktu 1 hari, Bila jangka waktu penyelesaian FLIS Bank Syariah yang ditentukan oleh BI tidak ditepati, maka Bank Syariah harus mengajukan permohonan Fasilitas Pendanan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) yang berjangka waktu 14 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari.
c. Standing Facilities 
Standing Facilities Adalah fasilitas yang disediakan oleh BI kepada Bank Syariah dalam rangka Operasi Moneter Syariah dengan cara :
1). Penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility) antara lain dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)
2). Penyediaan fasilitas pembiayaan ( financing facility ), antara lain dalam  bentuk repo surat berharga dalam rupiah dan pemberian pinjaman oleh BI kepada bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing).
Kedua fasilitas ini digunakan bila Bank Indonesia akan melakukan kebijakan  ekspansi moneter, tetapi secara teoritis bilamana  Bank Umum Syariah memerlukan dana untuk menutupi kekurangan likuiditas dalam rangka pelaksanaan system BI-RTGS
dan atau SKNBI, maka fasilitas ini dapat juga digunakan khususnya dalam rangka merealisasikan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS), namun fasilitas ini tidak dapat digunakan ketika BI melakukan kontraksi moneter.

4.     Kesimpulan
Seperti halnya dengan bank konvensional, Bank Syariah juga melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat, kemudian menyalurkannya ke dalam dunia usaha dan menyimpan sebagian sebagai dana cadangan likuiditas. Dana


Cadangan likuiditas berupa saldo kas pada bank yang bersangkutan, saldo giro pada Bank Indonesia dan surat-surat berharga syariah. Dana kas untuk melayani penarikan tunai dari nasabahnya, saldo giro pada Indonesia untuk menutupi penggunaan dana dalam rangka implementasi System Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI-RTGS) dan System Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI ).
Bila saldo rekening  giro Bank Syariah yang tersedia di bank Indonesia dalam rangka implementasi System BI-RTGS dan SKNBI tidak mencukupi, maka Bank Syariah dapat mencari dana melalui Pasar Uang Syariah yang bebas dari bunga. Di samping itu, Bank Syariah dapat juga  menggunakan Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah (FLIS ) yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk menutupi kekurangan pendanaan jangka pendek tersebut dengan jaminan surat-surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dan surat berharga lainnya yang berdasarkan prinsip syariah dan berkualitas tinggi serta mudah dicairkan. FLIS tersebut  harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan, namun bila tidak dapat diselesaikan maka Bank Syariah dapat mengajukan permohonan Faasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) yang jangka waktunya 14 hari dan dapat diperpanjang paling lama 90 hari dengan jaminan surat-surat berharga syariah seperti tersebut di atas.     
Instrument Pasar Uang Bank Syariah masih sangat kurang dibandingkan dengan instrument Pasar Uang Bank Konvensional, sehingga masih perlu dikembangkan. Sampai saat ini instrument Bank Syariah yang tersedia, adalah SBIS, SBSN, FLIS, Surat berharga PUAS.
Disusun Oleh : Tadjuddin Malik, Dosen Bank Syariah STAI DDI Polman Diposting       : 27 Juni 2013





DAFTAR PUSTAKA
Afzalur Rahman. Economic Doctrines of Islam. Diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin. Doktrine Ekonomi Islam, Jilid 4.1996. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
Adiwarman  Azwar  Karim.  2008.  Bank  Islam  Analisis  Fiqih  dan  Keuangan.  RajaGrafindo     Persada. Jakarta.
Amir Mahmud dan Rukmana. 2010. Bank Syariah. Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Andri Soemitra.2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing.  Mizan Pustaka. Bandung
Ismail. 2011. Perbakan Syariah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
M. Arifin Hamid.2007.Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia.Prospektif Sosia-Yuridis. Elsas. Jakarta
Muchdarsyah Sinungan. 1987. Uang dan Bank. Bina Aksara.Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani Jakarta. 
Rahmadi Usman. 2012.Aspek Hukum Bank Syariah di Indonesia. Sinar Grafika.Jakarta











SYSTEM PENGENDALIAN DANA LIKUIDITAS PADA
BANK SYARIAH


D
I
B
U
A
T

Oleh


Drs. H. Tadjuddin Malik, SH.MH
Pensiunan Bank Bumi Daya Jakarta dan
Dosen Perbankan Syariah STAI DDI Polewali Mandar
Polewali Mandar
Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar