SYSTEM
PENGENDALIAN DANA LIKWIDITAS
BANK
SYARIAH
1. Pendahuluan
Kegiatan
usaha Bank Syariah secara umum meliputi kegiatan menghimpunan dana dari masyarakat
dan menyalurkannya ke dalam dunia usaha, menyimpan dalam bentuk uang kas dan
giro pada Bank Indonesia sebagai cadangan serta dalam bentuk surat-surat
berharga yang mudah dicairkan. Dana dihimpun melalui produk-produk Bank Syariah
yang dikenal dengan istilah rekening giro wadiah,
tabungan wadiah, tabungan mudharabah, Deposito mudharabah dan produk lain yang sesuai
dengan prinsip syariah, kemudian disalurkan
ke dunia usaha dalam bentuk produk murabahah
(jual-beli), mudharabah (usaha bagi
hasil), musyarakah (usaha penyertaan),
ijarah (sewa-menyewa) dan jasa-jasa
bank.
Dana
yang dihimpun dari masyarakat tidak seluruhnya disalurkan ke dalam dunia usaha,
melainkan hanya sebgian yang jumlahnya paling banyak sekitar 80 % dan sisanya
di jadikan sebagai cadangan pembayaran kewajiban jangka pendek yaitu cadangan
penarikan dana dari rekening giro wadiah baik tunai maupun non tunai serta
cadangam penarikan dana dari tabungan wadiah,
tabungan mudharabah dan deposito mudharabah yang akan jatuh tempo.
Cadangan
Bank Syariah tersebut dapat berbentuk rekening giro di Bank Indonesia dan uang
tunai di Bank Syariah yang bersangkutan yang disebut Dana Cadangan Likuiditas
atau cadangan primer. Cadangan Bank Syariah dapat juga berupa surat-surat
berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah (disingkat SBIS), Surat
Berharga Syariah Negara (disingkat SBSN), Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syariah (disingkat SIMA), surat berharga Pasar Uang AntarBank
Syariah (disingkat PUAS) dan surat-surat berharga lainnya yang berdasarkan
prinsip syariah yang disebut cadangan sekunder. Cadangan-cadangan Bank Syariah
tersebut perlu dikendalikan agar tidak terjadi mismatched dalam operasional sehari-hari, Penerimaan dana lebih
kecil daripada pengeluaran dana suatu bank selama window time dapat
menyebabkan saldo negative rekening bank tersebut di Bank Indonesia (disingkat
BI ). Apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat menyebabkan kesulitan pendanaan
jangka pendek Bank Syariah tersebut.
Pengendalian
Likuiditas Bank Syariah dimaksudkan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh Bank
Syariah untuk mengatur ketersediaan dana yang selalu siap untuk digunakan dalam system pembayaran kewajiban jangka
pendek. Usaha tersebut berupa pengelolaan dana pihak ketiga, berupa system
penghimpunan dana, system penyaluran dana dan system penyediaan dana Cadangan
Likuiditas guna memenuhi kewajiban jangka pendek.
Menurut
Undang-undang Bank Indonesia, Bank Syariah dalam melakukan kegiatan usaha
berada di bawah pengawasan Bank Sentral ( Bank Indonesia) yang mengatur ketentuan
pemeliharaan dana likuiditas di Bank Indonesia yang disebut Giro Wajib
Minimum (disingkat GWM). Ketentuan
pemeliharaan GWM di BI, di samping merupakan kebijakan moneter dalam rangka
pengendalian uang yang beradar, juga berfungsi sebagai cadangan pembayaran
kewajiban jangka pendek baik Bank Umum Konvensional (disingkat BUK) maupun Bank
Umum Syariah (disingkat BUS). Ketentuan ini tertuang dalam Undang-undang No 23/1999 tentang Bank
Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang No 3/2004 dan Undang Undang No
6 tahun 2009 antara lain menetapkan bahwa Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menyimpan dana di Bank Indonesia
sebagai simpanan wajib minimum ( Pasal
10 Undang-Undang Bank Indonesia No 23 tahun 1999 ) yang ketentuan pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No 61/21/2004 yang diubah oleh Peraturan
Bank Indonesia No 8/23/PBI/2006, diubah oleh Peraturan Bank Indonesia
No10/23/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum (GWM). Giro Wajib Minimum dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 %
dari Dana Pihak Ketiga (disingkat DPK )
dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara Giro Wajib Minimum dalam valuta
asing sebesar 1 % dari Dana Pihak Ketiga ( DPK ) dalam valuta asing.
Kewajiban
jangka pendek pada umumnya dapat berupa kewajiban pembayaran tunai, kewajiban pembayaran
transfer kredit melalui System Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (disingkat System BI-RTGS), dan
kewajiban pembayaran net kliring debit,
yaitu kewajiban yang timbul setelah diperhitungkan (off setting) antara total kliring debit masuk (kewajiban) dan total
kliring debit keluar (hak) serta kliring kredit masuk (hak) dan kliring kredit
keluar (kewajiban) di Kantor Pusat Bank Indonesia melalui system Kliring Nasional
Bank Indonesia(disingkat SKNBI ).
Setiap
hari Bank Syariah memerlukan ketersediaan dana likuiditas yang cukup untuk
memenuhi kewajibannya, berupa saldo kas, saldo giro pada Bank Indonesia.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional
(SBSN), Sertifikat Investasi Mudharabah
Antarbank Syariah (SIMA), dan surat
berharga Pasar Uang Syariah lainnya adalah Surat-surat berharga yang dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan
Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah (FLIS) dari Bank Indonesia guna menutupi
kekurangan dana likuiditas Bank Syariah pada setiap saat selama window time atau jam operasional.
FLIS disediakan oleh BI Untuk mendukung kelancaran
system Pembayaran di Indonesia, sehubungan dengan telah diimplementasikannya system
Bank Indonesia – Real Time Gross
Settlement (disingkat system BI-RTGS) yang disebut FLIS-RTGS dan System
Kliring Nasional Bank Indonesia (disingkat SKNBI) yang disebut FLIS-Kliring. FLIS
tersebut harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaannya dan bilamana
dana FLIS tersebut tidak dapat
diselesaikan pada waktu yang ditentukan, maka Bank Syariah atau Badan Usaha Syariah
(disingkat BUS) dan atau Unit Usha
Syariah (disingkat UUS) dapat mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah (PFJPS) dengan agunan surat-surat berharga syariah yang
berjangka waktu 14 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari.
Ketersediaan
Dana Likuiditas yang cukup bagi bank
termasuk Bank Syariah dianggap sangat penting karena :
a).
Dana Likuiditas sangat berperan dalam bidang
operasional bank, baik pada bank konvensional maupun pada Bank Syariah.
Sebuah bank tidak dapat menolak, atau menunda pembayaran yang diajukan
oleh nasabah kepadanya dengan alasan bank tidak memiliki
dana yang cukup pada suatu saat. Setiap penarikan yang dilakukan oleh nasabah Bank
Syariah khususnya giro wadi’ah, tabungan
wadiah, pemberian pembiayaan yang
sudah disetujui harus dipenuhi oleh Bank Syariah yang bersangkutan sesuai
dengan akad yang telah disepakati.
b).
Dana Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga
mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu
besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat
perolehan keuntungan suatu bank.
c).
Dana likuiditas diperlukan untuk mengatasi kebutuhan dana yang mendesak,
memuaskan permintaan nasabah giro wadiah
dan tabungan wadiah, merealisasikan pembiayaan
murabahah, mudharabah, ijarah, dapat memberikan
fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi yang menarik dan menguntungkan.
d).
Berdasarkan pengalaman, pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik
yang besar maupun yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya,
melainkan karena ketidak-mampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Krisis moneter telah membuktikan hal ini, di mana beberapa bank swasta nasional
kolep karena ramai-ramai nasabahnya menarik dananya dari bank yang
bersangkutan.
Kesulitan
dana likuiditas adalah resiko yang potensial terjadi pada setiap lembaga keuangan
bank pada umumnya, karena adanya penarikan yang cukup besar dari nasabah. Bank
Syariah termasuk di antaranya yang potensial dari kemungkinan kesulitan ini,
karena di satu sisi terjadi penarikan besar dari nasabah, di sisi lain dana yang telah
dihimpun
tertanam pada
kegiatan-kegiatan
bisnis musyarakah, mudharabah, piutang murabahah, dan piutang ijarah, tidak
mudah dicairkan dalam waktu singkat bila terjadi penarikan besar dari investor
khususnya dari nasabah Giro Al-Wadi’ah
dan nasabah Tabungan Al-wadiah.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, Bank Syariah menempatkan dana cadangan likuiditas yang
relative besar pada SBIS, SBSN dan instrument Pasar Uang Antarbank Syariah
(PUAS), cadangan saham yang marketable
seperti saham-saham pemerintah yang bebas bunga, atau saham-saham perusahaan
besar bebas bunga yang mudah dicairkan guna menutupi kekurangan dana
likuiditas.
Bagi
bank-bank konvensional yang mengalami kesulitan dana likuiditas dalam
operasional sehari-hari dapat menggunakan Pasar Uang dan Pasar Modal dengan
berbagai instrument, seperti fasilitas diskonto (discount rate), fasilitas
Bank Indonesia (FASBI),Sertifikat Bank Indoensia (SBI), saldo Giro Wajib Minimum
( dana likuiditas ), Pagu Kredit, Operasi Pasar Terbuka.
Berbeda
halnya Bank Syariah yang mengalami kesulitan dana likuiditas, tidak dapat
menggunakan semua instrument tersebut di atas, karena instrument tersebut tidak
dapat melepaskan diri dari unsur bunga. Instrument yang dapat digunakan Bank
Syariah hanyalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga
Syariah Nasional (SBSN), Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syariah ( SIMA ) dan instrument Pasar Uang
Antarbank Syariah (PUAS), serta efek-efek (khusus saham-saham yang bebas
bunga) dengan jalan merepokan (repurchace
Agreement) kepada Bank Indonesia guna mendapatkan Fasilitas Intrahari
Syariah (FLIS) atau Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah ( FPJPS). Obligasi merupakan surat pengakuan hutang dan
instrument lainnya tidak bisa digunakan oleh Bank Syariah karena
instrument-intrument tersebut mengandung bunga.
2. Dana Likuiditas Bank Syariah
2.1.
Cadangan Dana Likuiditas Bank Syariah
Bank Konvensional dan Bank
Syariah harus memelihara
Likuiditas
Wajib Minimum (Statutory Reserve
Requirements) atau Giro Wajib Minimum sesuai ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan
BI mewajibkan agar setiap bank umum menyediakan sejumlah minimum dana yang
wajib disimpan pada rekening gironya di BI. Jumlah minimum dana giro yang wajib
dipelihara dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah Dana Pihak
Ketiga (DPK) yang telah dihimpun oleh bank
yang bersangkutan. Persentase tersebut dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi
perekonomian Indonesia. Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan salah satu Alat
likuid suatu bank. Alat likuid selain GWM adalah saldo kas ditambah sejumlah surat-surat berharga pasar
uang dan pasar modal.
Rachmadi Usman (2012 : 174) mengutip Peraturan Bank
Indonesia No 6/21/PBI/2004, yang diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No
8/23/PBI/2006, dan diubah lagi dengan Peraturan Bank Indonesia No.
10/23/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum (GWM) menyatakan bahwa setiap Bank Umum termasuk
Bank Syariah diwajibkan memelihara GWM dalam rupiah maupun valuta asing. GWM
dalam rupiah ditetapkan sebesar 5 % dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah
dan untuk bank devisa diwajibkan memelihara GWM dalam valuta asing sebesar 1 %
dari DPK dalam valuta asing.
Di
samping itu, bagi bank umum syariah yang memiliki rasio pembiayaan terhadap DPK
dalam rupiah kurang dari 80 %, dan
-
memiliki DPK lebih besar dari Rp 1 trilyun
sampai dengan Rp 10 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar
1 % dari DPK dalam rupiah
-
memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari
Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam
rupiah sebesar 2 % dari DPK dalam rupiah
-
memiliki DPK rupiah lebih besar dari Rp 50
trilyun wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3 % dari DPK dalam
rupiah
-
Khusus Bank Umum Syariah yang memiliki
rasio pembiayaan terhadap DPK dalam
rupiah sebesar 80 % atau lebih dan/atau memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan
Rp 1 trilyun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM
GMW yang harus
disediakan suatu bank umum merupakan salah satu alat kebijakan moneter Bank
Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, di
samping sebagai cadangan pembayaran kewajiban jangka pendek suatu bank. GWM ini
juga berguna untuk mengukur kemampuan suatu
bank dalam membayar kembali simpanan nasabahnya pada saat ditarik dan menggunakan
alat likuid yang dimilikinya.
Cadangan Likuiditas seringkali dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu cadangan primer (primary reserves) dan cadangan sekunder (secondary reserves). Bank Indonesia
sebagai bank sentral untuk menjaga keamanan pendanaan bank peserta system
BI-RTGS dan SKNBI dapat saja mewajibkan setiap bank memelihara kedua jenis
cadangan tersebut, namun dalam praktik, meskipun bank tidak diwajibkan
memelihara cadangan sekunder, bank biasanya tetap memiliki sejumlah dana cadangan
sekunder untuk menjaga bila dana cadangan primer bank tersebut tidak mencukupi
kebutuhan dana likuiditas bank dalam operasionalnya sehari-hari.
Cadangan sekunder
dimaksudkan sebagai back up apabila
cadangan primer tidak mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan dana likuiditas
atau penarikan yang dilakukan oleh nasabah, baik melalui penarikan tunai,
transfer kredit, maupun melalui kliring. Cadangan sekunder dapat digunakan
untuk mendapatkan dana dari pasar uang dan pasar modal atau bantuan pendanaan
dari Bank Indonesia berupa FLIS dan FPJPS. Cadangan sekunder ini biasanya dalam
bentuk sekuritas atau surat-surat berharga yang sangat likuid dan berkualitas
tinggi, mudah diuangkan dan memiliki risiko rendah, misalnya Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional
( SBSN) dan Surat Perbendaharaan Negara
(Treasury Bills) untuk bank
konvensional.
Bila
bank dalam operasional sehari-harinya mengalami mismatched atau kesulitan dana likuiditas, pada umumnya mereka
mendapatkan dana dari Pasar Uang. M.
Syafii Antonio , (2001 : 186 ) mengatakan bahwa tanpa adanya
fasilitas pasar
uang, bank
konvensional pun akan menghadapi masalah, mengingat pada umumnya bank sulit
menghindari posisi keuangan yang mismatched.
Untuk memanfaatkan dana yang idle,
bank dapat melakukan investasi jangka pendek di pasar uang. Sebaliknya, untuk
memenuhi kebutuhan dana likuiditas jangka pendek, bank juga dapat memperoleh di
pasar uang (Pertaruran BI no 2/8/PBI/2000).
Dalam
kaitan pasar uang, Bank Syariah menghadapi kendala, mengingat surat-surat
berharga di pasar keuangan konvensional berbasis system bunga (kecuali saham
perusahaan syariah). Masalah ini berdampak negative pada pengelolaan dana likuiditas,
sehingga Bank Syariah terpaksa hanya memusatkan portofolionya pada aktiva
jangka pendek yang terkait dengan perdagangan (murabahah). Hal ini berlawanan dengan keperluan investasi dan
pembangunan ekonomi.
Pinjam-meminjam uang
dengan imbalan keuntungan dilarang, Pendapatan atau keuntungan hanya dapat
diperoleh dengan bekerja melalui kegiatan perniagaan yang tidak dilarang oleh
Islam. Untuk menghindari pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan
oleh syariah Islam tersebut, piranti keuangan yang diciptakan harus didukung
oleh aktiva, proyek aktiva atau transaksi jual-beli yang berlatarbelakang
halal, yaitu dengan membentuk bukti penyertaan baik dalam bentuk penyertaan musyarakah maupun dalam bentuk penyertaan
mudharabah (M Syafii Antonio, 2001 :
189).
Pengendalian dana likuiditas Bank Syariah merupakan
suatu usaha yang dilakukan oleh Bank Syariah untuk mengelola ketersediaan dana
yang cukup yang dapat digunakan dalam system
pembayaran guna memenuhi kewajiban jangka pendek Bank Syariah. Ketersediaan dana
yang dianggap cukup bilamana:
1). Dana giro Bank Syariah yang tersedia di
Bank Indonesia dapat menutupi kewajiban pembayarannya melalui System pembayaran
kewajiban jangka pendek meliputi system Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI RTGS) dan System Kliring
Nasional Bank Indonesia ( SKNBI )
2). Bilamana terjadi mismatched antara penerimaan dana dan
pengeluaran dana pada waktu tertentu, baik melalui system BI-RTGS maupun SKNBI
dapat ditutupi dari dana yang diperoleh dari pasar uang syariah dan atau dengan
bantuan FLIS (Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah) atau Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah ( FPJPS ) dari Bank Indonesia dengan jaminan surat-surat
berharga yang dimiliki oleh Bank Syariah tersebut.
Suatu teori yang
dikenal di bidang perbankan mengatakan bahwa, semakin tinggi persentase rasio
alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada pada suatu bank, maka
semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank tersebut, namun demikian akan
mempengaruhi produktivitas bank yang bersangkutan. Pendapat ini
berasumsi bahwa, apabila kita menyimpan dana kas dan saldo giro pada BI serta
memiliki surat-surat berharga yang nilainya cukup tinggi, dan tidak terjadi
penarikan dana secara besar-besaran dari nasabah (rush), maka bank akan selalu mampu memenuhi kewajiban jangka pendek,
namun di sisi lain dana yang diparkir yang cukup besar sebagai alat likuid akan
mengurangi perolehan pendapatan. Alasannya sangat sederhana, yaitu bila Dana
Pihak Ketiga (DPK) suatu bank diparkir lebih besar sebagai alat likuiditas,
maka dana yang ditempatkan pada dunia usaha yang diharapkan dapat memberikan
perolehan pendapatan lebih besar menjadi semakin kecil. Bila dana yang
ditempatkan pada dunia usaha semakin kecil, maka perolehan pendapatan bank juga
semakin kecil, karena dana kas tidak mendatangkan hasil, saldo giro
di BI hanya mendapatkan insentif yang
sangat kecil. Surat-surat berharga termasuk surat berharga syariah
meberikan pendapatan yang lebih rendah daripada perolehan pendapatan dari hasil
bisnis dunia usaha.
Namun teori ini
tidak selalu benar karena perolehan pendapatan sangat dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian suatu Negara khususnya kondisi perkreditan nasabah atau pembiayaan
yang diberikan.
Sesungguhnya
perolehan pendapatan bank dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah kendala operasional yang
dihadapi, khusus Bank Syariah adalah kesulitan mengendalikan dana likuiditas
secara efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala antara lain :
a). Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas
dana-dana deposito yang diterima dari nasabah. Dana-dana tersebut terakumulasi
dan menganggur untuk beberapa hari dalam bentuk dana kas, sehingga mengurangi pendapatannya.
b). Kesulitan mencairkan dana investasi yang telah ditanam seperti investasi pada Mudharabah dan musyarakah pada saat terjadi penarikan
dana dari nasabah giro wadi’ah dan
tabungan wadi’ah dalam situasi
kritis, menyebabkan Bank Syariah menahan alat likuiditasnya dalam jumlah besar
dibandingkan dengan rata-rata bank konvensional. Kondisi ini pun menyebabkan
berkurangnya jumlah pendapatan Bank Syariah.
M. Syafii Antonio
(2001 :186) berpendapat bahwa tugas utama manajemen bank, termasuk Bank Syariah
adalah memaksimalkan laba, meminimalkan resiko dan menjamin tersedianya dana
likuiditas yang cukup. Manajemen tidak dapat semaunya menarik nasabah untuk
menyimpan dananya di bank tanpa memberikan keyakinan kepada nasabah bahwa
investasi dana itu menguntungkan dan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh
nasabah atau pada saat jatuh tempo.
Seseorang akan
tertarik menanamkan dananya pada instrument keuangan suatu bank apabila mereka
yakin bahwa instrument tersebut dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi
pendapatan efektip dari investasinya. M. Syafii Antonio (2001 :186) mengatakan
bahwa instrument keuangan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut :
-
Pendapatan yang baik (good return)
-
Risiko yang rendah (low risik)
-
Mudah dicairkan (redeemable)
-
Sederhana (simple)
-
Fleksibel
2.2.
Penggunaan Dana Likwiditas Bank Syariah
Penggunaan dana likuiditas berkaitan dengan system
pembayaran tunai, system transfer dana antarbank melalui System BI-RTGS dan
System Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI ).
a.
Pembayaran Tunai kepada nasabah Bank Umum Syariah
Setiap penarikan tunai kepada nasabah Bank Syariah
dalam jumlah besar menyebabkan Bank syariah harus menarik dana giro dari Bank
Indonesia dalam bentuk uang tunai (uang kertas) karena rata-rata perbankan baik
konvensional maupun syariah tidak akan menyimpan uang tunai di kantor cabangnya
dalam jumlah yang besar karena di anggap idle
money atau uang tunai yang tidak menghasilkan.
Setiap cabang bank, baik Bank Umum Konvensional ( BUK)
maupun Bank Umum Syariah ( BUS ) menetapkan batas maksimum uang yang harus ada
pada setiap cabangnya yang jumlahnya dihitung berdasarkan rata-rata saldo kas ideal per hari cabang yang bersangkutan
tanpa memperhitungkan penarikan besar dari nasabahnya. Kelebihan batas maksimum
saldo kas cabang bank yang bersangkutan setiap hari harus di remis ke cabang lainnya yang kekurangan
saldo kas atau disetor ke Bank Indonesia.
Semua Bank Umum tidak akan menyimpan uang tunai di
kantor cabang atau kantor pusat dalam jumlah yang melebihi rata-rata maksimum
kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam bentuk saldo kas, karena di samping idle money juga mendapat beban biaya
asuransi cash in safe, cash in cashier’s box yang pada
gilirannya akan mengurangi perolehan laba bank.
Dengan
demikian, cabang-cabang BUK dan atau BUS dapat melakukan setor dan tarik dana
dari Bank Indonesia setiap hari yang akan mempengaruhi jumlah dana likuiditas yang
ditampung dalam rekening giro bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
b. Pembayaran
Melalui System Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement (System BI RTGS)
System Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI-RTGS) adalah suatu system
transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual (Peraturan
Bank Indonesia No. 10/6/PBI/2008 Pasal 1 angka 1).
Peserta adalah bank dan pihak lain yang telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh penyelenggara (Peraturan Bank Indonesia No
10/6/PBI/2008 Pasal 1 angka 3).
System BI RTGS adalah suatu transfer kredit yang proses
penyelesaian akhir transaksi pembayaran dilakukan per transaksi dan bersifat real time (seketika). Rekening peserta pengirim dapat didebit
berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran, dan sebaliknya
rekening penerima dapat juga dikredit berulang kali sesuai dengan penerimaan
pembayaran dari peserta pengirim.
Kemampuan system BI-RTGS untuk melakukan transfer
secara real time atau seketika dan
terus menerus selama window time, akan
mampu mengurangi atau mengeleminir resiko-resiko dalam proses settlement karena transaksi akan dijalankan bila saldo rekening giro peserta pengirim
(bank pengirim) di Bank Indonesia mencukupi.
System Pembayaran Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (system BI-RTGS) di Indonesia baru diterapkan
sejak 17 November 2000 dan dinilai sangat berperan dalam transaksi pembayaran
bernilai besar yang potensial mengandung resiko systemik.
Dalam System Real Time Gross Settlement (System BI
RTGS), Peserta pengirim mentransmisikan transaksi pembayaran melalui terminal
RTGS di kantornya kepada Pusat Pengolahan System BI
- RTGS ( R T G S Central Computer ) di
Bank Indonesia. Jika proses settlement pada BI berhasil, maka secara otomatis
melalui elektronik dana transfer kredit diteruskan kepada peserta penerima.
Keberhasilan proses settlement tergantung pada
kecukupan saldo giro peserta pengirim pada BI. Bila dana rekening giro bank
peserta pengirim dan atau Bank Syariah tidak mencukupi pada saat proses
settlement, maka transaksi pembayaran terhambat dan selanjutnya dimasukkan ke
dalam tumpukan antrian transaksi yang akan diproses atau ditunda
pelaksanaannya.
Bila Bank Syariah mengalami kesulitan pendanaan dalam
rangka pelaksanaan system BI-RTGS karena transfer kredit dari bank lain yang
harus diterima belum masuk ke rekeningnya di BI, sedangkan transfer kredit
keluar (kepada bank lain) sudah harus dilaksanakan, maka Bank Syariah dapat
menggunakan Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah - Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (disingkat
FLIS-RTGS). FLIS-RTGS ini digunakan untuk mengatasi kesulitan Bank Syariah yang
terjadi dalam operasional sehari-hari.
Transaksi yg dapat dilakukan dalam system BI-RTGS pada
prinsipnya berupa transfer kredit yaitu transaksi yg dilakukan oleh peserta
pengirim untuk mendebit rekening gironya di Bank Indonesia dan mengkredit
rekening giro peserta penerima di Bank Indonesia. Peserta pengirim tidak dapat melakukan pendebitan terhadap
rekening penerima kecuali peserta pengirim adalah Bank Indonesia. BI sebagai
peserta system BI-RTGS di samping sebagai penyelenggara dapat melakukan
transfer debit atau Bank Indonesia sebagai peserta selain dapat melakukan
transfer kredit, juga dapat melakukan transfer debit. BI dapat melakukan
pendebitan rekening giro peserta penerima dan mengkredit rekening lainnya di Bank
Indonesia.
Transaksi
transfer debit yang dapat dilakukan oleh B I hanya transaksi
dalam rangka penyelesaian kewajiban peserta kepada
BI atau kepada Pemerintah RI atau koreksi atas transaksi utk kepentingan
nasabah peserta yg diinput oleh BI.
c.
Pembayaran
Melalui Kliring ( SKNBI )
Kliring
adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas
nama nasabah peserta yang Perhitungannya diselesaikan pada
waktu tertentu (Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia No 7/18/PBI/2005
tentang System Kliring Nasional Bank Indonesia). Warkat atau data keuangan
elektronik dimaksud sebagai alat pembayaran bukan tunai yang diatur dalam Undang-undang.
Warkat
kliring merupakan alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan melalui
kliring. Jenis warkat yang dapat diperhitungkan dalam kliring adalah
-
Cek, Bilyet Giro ( BG )
-
Wesel bank untuk transfer
-
Surat Bukti Penerimaan Transfer
-
Nota debet
-
Nota kredit
System
Kliring Nasional Bank Indonesia ( SKNBI )adalah system kliring Bank Indonesia
meliputi kliring debit dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan
secara nasional. Kliring debit adalah kegiatan dalam system Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) untuk transfer debit. Kliring kredit adalah kegiatan dalam
SKNBI untuk transfer kredit (Pasal 1 angka 5,6,7 Peraturan Bank Indonesia No
7/18/PBI/2005). Pada prinsipnya dalam SKNBI, Penyelengara Kliring adalah
Penyelengara Kliring Nasional (PKN ) yaitu Unit Kerja di Kantor Pusat Bank
Indonesia. Penyelenggara Kliring Lokal
(PKL) adalah Cabang-Cabang Bank Indonesia yang berada di daerah (di wilayah
kliring), namun karena tidak semua daerah yang dapat menyelenggarakan kliring
lokal
terdapat Cabang Bank Indonesia, maka atas penunjukkan Bank Indonesia terhadap salah
satu bank umum yang ada di daerah ( di wilayah kliring) bersangkutan dapat menyelenggarakan
Kliring Lokal.
Penyelenggaraan
kliring menggunakan metode net settlement
dalam penyelesaian akhir, artinya proses penyelesaian akhir transaksi-transaksi
pembayaran dilakukan pada akhir suatu
periode dengan melakukan perhitungan (off setting ) antara kewajiban peserta dengan hak peserta, sehingga
hanya ada satu net
hak atau kewajiban yang akan disettle
oleh BI untuk masing-masing rekening bank. Hal ini berbeda dengan system BI-RTGS
yang menggunakan gross settlement
dimana setiap transaksi diperhitungkan secara individual.
Dalam system kliring terdapat resiko pada
akhir hari, yaitu bila suatu bank mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang
cukup besar. Apabila jumlah kekalahan kliring melampaui saldo rekening bank
peserta di Bank Indonesia, maka saldo rekening bank tersebut berbaki negative (overdraft) yang pada gilirannya akan menyulitkan Bank
Indonesia apabila bank yang bersangkutan tidak mampu menutup overdraft keesokan harinya.
3.
Penanggulangan
kekurangan Dana Likuiditas.
Untuk menanggulangi kesulitan pendanaan
jangka pendek bank baik konvensional maupun Bank Syariah, bank dapat
menggunakan Pasar Uang Antarbank. Di samping itu, Bank Indonesia menyediakan
bantuan fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas Pendanan Jangka
Pendek (FPJP) untuk bank konvensional, Fasilitas Likuiditas Intrahari Syariah (
FLIS ) dan Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah (FPJPS) untuk Bank Syariah serta Standing Facilities dengan mensyaratkan bank menjaminkan surat-surat
berharga yang bernilai dan berkualitas tinggi serta mudah dicairkan.
a. Dana
Likuiditas dari Pasar Uang AntarBank Syariah
Pasar uang (money
market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu
dana berjangka waktu kurang dari satu tahun.
Dalam teori ekonomi, pasar uang bukanlah suatu tempat secara
fisik untuk orang berjualan, namun diartikan secara luas, abstrak dan tetap mencakup pengertian
pertemuan antara permintaan dan penawaran. Apabila permintaan bertemu penawaran
di pasar maka akan terjadi transaksi.
Transaksi merupakan kesepakatan antara apa yang diinginkan pembeli dan
apa yang diinginkan penjual.
Transaksi pasar uang dilakukan secara OTC (Over The Counter), para dealer bekerja
di dealing room bank masing-masing
dan bertransaksi melalui berbagai jaringan komunikasi canggih seperti RMDS (Reuters Monitor Dealing System), broker voice mail, telex, faksimili
(Andri Soemitra, 2010 : 205).
Harga dalam pasar uang konvensional ditentukan dalam bentuk
persentase untuk jangka waktu tertentu yang diterima oleh pemberi pinjaman
untuk melepaskan penggunaan dana itu yang disebut interest rate. Dalam pandangan Islam uang hanyalah sebagai alat
tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Uang merupakan flow concept yang harus selalu berputar
dalam perekonomian yang akan menyebabkan semakin tinggi tingkat pendapatan
masyarakat dan semakin baik perekonomian (Andri Soemitra, 2010 : 202-205).
Untuk memenuhi likuiditas, bank-bank Islam memerlukan akses
ke pasar uang. Jika suatu bank memiliki kelebihan dana likuiditas ia dapat
menggunakan instrument pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan bila
kekurangan dana likuiditas ia dapat menerbitkan instrument yang dapat dijual
guna mendapatkan dana tunai.
Antara pasar uang konvensional dengan pasar uang syariah
terdapat perbedaan yang mendasar,
yaitu instrument yang
diterbitkan
pada pasar uang konvensional, adalah instrument utang yang dijual dengan diskon
dan didasarkan atas perhitungan bunga; sedangkan pasar uang syariah lebih
kompleks dan mendekati mekanisme pasar modal, yaitu transaksi keuangan di pasar
uang syariah dilandasi oleh akad Mudharabah,
Musyarakah, Qardh, wadi’ah, jua’lah, al bai’ dan Al Syarf tergantung pada
kesepakatan pihak yang terkait dan kebutuhan masing-masing (Andri Soemitra ,
2010 : 203)
Perkembangan bank
syariah yang semakin
pesat memerlukan pengelolaan dana likuiditas dan
pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang
lebih likuid dan efisien. Instrumen
pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah yang
ada saat ini menggunakan akad mudharabah
atau Investasi Mudhrabah Antarbank
(IMA) belum dapat sepenuhnya
memenuhi kebutuhan pengelolaan dana likuiditas Bank Syariah,
sehingga perlu dibuka kemungkinan
untuk menggunakan instrumen pasar
uang antar bank
berdasarkan prinsip syariah selain akad mudharabah (IMA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah
melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang
Antarbank dengan Prinsip Syariah merasa perlu melakukan penyempurnaan terhadap
ketentuan tentang Pasar
Uang Antarbank berdasarkan
Prinsip Syariah.
Pasar
Uang AntarBank Syariah ( PUAS ) adalah kegiatan transaksi keuangan jangka
pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta
asing. Instrument PUAS adalah instrument yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau
Unit Usaha Syariah (UUS) digunakan sebagai sarana transaksi PUAS yang pada
dasarnya dimaksudkan sebagai sarana investasi antarBank Syariah, karena Bank
Syariah tidak diperkenankan menanam dana pada bank konvensional untuk
menghindari pemanfaatan dana yang akan menghasilkan bunga. Peserta PUAS adalah Bank
Syariah dan bank konvensional, tetapi bank konvensional hanya dapat menanamkan
dananya, tidak diperkenankan mendapatkan dana dengan menerbitkan instrument
Pasar Uang AntarBank Syariah ( PUAS ).
Penerbitan
instrument PUAS wajib mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan
instrument PUAS kepada Bank Indonesia. Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
dapat melakukan penempatan dana dan
atau penerimaan dana
dengan menggunakan instrument PUAS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah harus
mengajukan permohonan penerbitan instrument PUAS kepada Bank Indonesia
yang sebelumnya wajib memperoleh
fatwa
dari Dewan Syariah Nasional ( DSN ) tentang kesesuaian instrument PUAS dimaksud
dengan prinsip syariah. Setelah Bank
Indonesia menyetujui Instrumen
PUAS dimaksud, Bank Indonesia mengatur Instrumen PUAS tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bank
Syariah atau UUS lainnya dapat
menerbitkan Instrument PUAS
sejak Bank Indonesia menerbitkan
Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bank
Syariah atau UUS
dapat menerbitkan Instrument PUAS
yang sudah diatur
dalam Surat Edaran
Bank Indonesia tanpa perlu
mengajukan permohonan terlebih dahulu. Bank Indonesia
mengatur jenis Instrumen
PUAS yang dapat
diperdagangkan sebelum jatuh waktu. Jenis dan
tata cara perdagangan
Instrumen PUAS diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
b. Fasilitas
Likuiditas Intrahari Syariah ( FLIS )
Menurut Peraturan Bank Indonesia No
11/30/PBI/2009, Fasilitas Likuiditas Intrahari berdasarkan Prinsip Syariah
(FLIS) adalah fasilitas pendanaan yang disediakan BI kepada Bank Umum Syariah
(BUS) dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dalam kedudukan sebagai peserta System
BI-RTGS dan SKNBI. Permohonan FLIS oleh Bank Syariah dapat dilakukan dengan
cara merepurchase (merepo) surat berharga yang harus
diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan
Penggunaan FLIS – RTGS dan FLIS- Kliring secara
otomatis pada saat saldo rekening giro rupiah BUS atau UUS di BI tidak
mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing
transaction). FLIS-RTGS digunakan setiap kali
dana giro untuk transaksi transfer kredit
tidak mencukupi dan FLIS-Kliring digunakan pada saat perhitungan penyelesaian
akhir (off setting) dan dana giro Bank
Syariah tidak mencukupi atas penyelesaian akhir Kliring Debit.
Bila nilai surat berharga untuk
FLIS-Kliring tidak cukup untuk menutupi kewajiban penyelesaian akhir kliring
debit, maka nilai surat berharga untuk FLIS-RTGS yg tersedia secara otomatis
digunakan
untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir kliring debeit. Dalam hal BUS atau
UUS tidak menyelesaikan nilai FLIS sampai batas waktu penyelesaian FLIS yang
ditetapkan, maka nilai FLIS yang tidak dapat diselesaikan diberlakukan sebagai
transaksi repo dengan BI dengan jangka waktu 1 hari, Bila jangka waktu penyelesaian
FLIS Bank Syariah yang ditentukan oleh BI tidak ditepati, maka Bank Syariah
harus mengajukan permohonan Fasilitas Pendanan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
yang berjangka waktu 14 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari.
c. Standing
Facilities
Standing
Facilities Adalah fasilitas yang disediakan oleh BI kepada Bank
Syariah dalam rangka Operasi Moneter Syariah dengan cara :
1). Penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility) antara lain dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank
Indonesia Syariah (FASBIS)
2). Penyediaan fasilitas pembiayaan ( financing facility ), antara lain dalam bentuk repo surat berharga dalam rupiah dan
pemberian pinjaman oleh BI kepada bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing).
Kedua fasilitas ini digunakan bila Bank
Indonesia akan melakukan kebijakan ekspansi
moneter, tetapi secara teoritis bilamana Bank Umum Syariah memerlukan dana untuk
menutupi kekurangan likuiditas dalam rangka pelaksanaan system BI-RTGS
dan atau SKNBI, maka fasilitas ini
dapat juga digunakan khususnya dalam rangka merealisasikan permohonan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS), namun fasilitas ini tidak dapat
digunakan ketika BI melakukan kontraksi moneter.
4. Kesimpulan
Seperti
halnya dengan bank konvensional, Bank Syariah juga melakukan kegiatan usaha
menghimpun dana dari masyarakat, kemudian menyalurkannya ke dalam dunia usaha
dan menyimpan sebagian sebagai dana cadangan likuiditas. Dana
Cadangan
likuiditas berupa saldo kas pada bank yang bersangkutan, saldo giro pada Bank
Indonesia dan surat-surat berharga syariah. Dana kas untuk melayani penarikan
tunai dari nasabahnya, saldo giro pada Indonesia untuk menutupi penggunaan dana
dalam rangka implementasi System Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
(system BI-RTGS) dan System Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI ).
Bila
saldo rekening giro Bank Syariah yang
tersedia di bank Indonesia dalam rangka implementasi System BI-RTGS dan SKNBI
tidak mencukupi, maka Bank Syariah dapat mencari dana melalui Pasar Uang
Syariah yang bebas dari bunga. Di samping itu, Bank Syariah dapat juga menggunakan Fasilitas Likuiditas Intrahari
Syariah (FLIS ) yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk menutupi kekurangan pendanaan
jangka pendek tersebut dengan jaminan surat-surat berharga seperti Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dan surat
berharga lainnya yang berdasarkan prinsip syariah dan berkualitas tinggi serta
mudah dicairkan. FLIS tersebut harus
diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan, namun bila tidak dapat
diselesaikan maka Bank Syariah dapat mengajukan permohonan Faasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah (FPJPS) yang jangka waktunya 14 hari dan dapat
diperpanjang paling lama 90 hari dengan jaminan surat-surat berharga syariah
seperti tersebut di atas.
Instrument Pasar Uang Bank Syariah masih sangat kurang
dibandingkan dengan instrument Pasar Uang Bank Konvensional, sehingga masih perlu
dikembangkan. Sampai saat ini instrument Bank Syariah yang tersedia, adalah
SBIS, SBSN, FLIS, Surat berharga PUAS.
Disusun Oleh :
Tadjuddin Malik, Dosen Bank Syariah STAI DDI Polman Diposting : 27 Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA
Afzalur Rahman. Economic Doctrines of Islam.
Diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin. Doktrine
Ekonomi Islam, Jilid 4.1996. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
Adiwarman Azwar Karim.
2008. Bank
Islam Analisis Fiqih
dan Keuangan. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Amir Mahmud dan Rukmana. 2010. Bank Syariah. Teori, Kebijakan dan Studi Empiris
di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Andri Soemitra.2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Hermawan Kartajaya dan Muhammad
Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing. Mizan Pustaka. Bandung
Ismail. 2011. Perbakan Syariah. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta
M. Arifin Hamid.2007.Membumikan Ekonomi Syariah di
Indonesia.Prospektif Sosia-Yuridis. Elsas. Jakarta
Muchdarsyah Sinungan. 1987. Uang dan Bank. Bina Aksara.Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio. 2001.
Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
Gema Insani Jakarta.
Rahmadi Usman. 2012.Aspek Hukum Bank Syariah di Indonesia.
Sinar Grafika.Jakarta
SYSTEM
PENGENDALIAN DANA LIKUIDITAS PADA
BANK SYARIAH
D
I
B
U
A
T
Oleh
Drs. H. Tadjuddin Malik, SH.MH
Pensiunan Bank Bumi Daya Jakarta dan
Dosen Perbankan Syariah STAI DDI Polewali Mandar
Polewali Mandar
Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar