Minggu, 05 Januari 2014

TINJAUAN PRODUK DOMINAN PERBANKAN SYARIAH DI INDOANESIA



TINJAUAN PRODUK DOMINAN PERBANKAN SYARIAH DI INDOANESIA
PENDAHULUAN
1.         Latar Belakang Masalah
System Perbankan Syariah semakin hari semakin populer dan berkembang yang ditandai dengan lahirnya lembaga keuangan bank, lembaga keuangann non bank-bank, perusahaan-perusahaan yang menerapkan konsep syariah. Salah satu cirinya adalah meninggalkan prinsip bunga atau riba dan menerapkan prinsip bagi hasil. Indonesia dengan penduduk kurang lebih 220 juta orang, lebih 80 % beragama Islam. Para pengusaha, individu yang agamais sudah mulai mempertanyakan kehalalan operasional Bank Konvensional dengan system bunga atau riba.
Islam melarang praktik muamalah yang mengandung dan dapat menimbulkan riba sesuai dengan prinsip dasar ajaran islam. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba, dan karena itu hukumnya haram. Oleh karena itu, untuk melayani umat Islam yang begitu besar jumlahnya, diusahakan adanya system perbankan yang beroperasi tidak mengenakan bunga kepada nasabahnya atau lazim disebut perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Sistem yang dipakai untuk membiayai aktivitas bisnis didasarkan pada konsep bagi hasil (profit and loss sharing) melalui model pembiayaan mudharabah  (kemitraan pasif), dan musyarakah (kemitraan aktif). Jual-beli tangguh dan pinjaman tanpa bunga (Qardh al Hasan) juga dipakai untuk pembiayaan konsumtif dan transaksi bisnis (Umer Chapra dan Tariqullah Khan,2008 : 2).
System keuangan tanpa bunga dalam memobilisasi sumber-sumber keuangan untuk membiayai usaha produktif, distribusi dan konsumtif. Usaha yang bersifat produktif difasilitas melalui skema profit sharing yaitu mudharabah dan partnership ( musyarakah). Usaha yang bersifat distributif memanfaatkan hasil-hasil produk, dilakukan melalui skema jual-beli (murabahah) dan sewa-menyewa (ijarah). Kebutuhan yang bersifat Konsumtif berupa barang yang ready stock dapat difasilitasi melalui murabahah, salam untuk goods in process berjangka pendek serta istishna untuk goods in process berjangka panjang, Sedangkan bila bersifat konsumtif berupa jasa, maka dapat difasilitasi melalui ijarah. 
Berbeda halnya dengan perbankan konvensional yang selama ini beroperasi di Indonesia sebagai lembaga keuangan bank menganut system penghimpunan dan penyaluran dana dengan system bunga atau riba. Bank Konvensional ini bersifat perantara (intermediasi) di bidang keuangan, perantara antara investor atau pemilik modal (pemegang saham, penabung, deposan) dengan pengelola atau pengguna modal (debitur) dan memperoleh pendapatan sebagian besar dari selisih antara hasil penyaluran dana yang disebut bunga kredit dengan biaya pengerahan atau biaya penghimpunan dana yang disebut bunga dana dan biaya-biaya operasional lainnya.
Bank Konvensional dalam kegiatannya memberikan kredit atau pinjaman baik kepada proyek investasi maupun kepada pengusaha yang memerlukan modal kerja atau modal eksploitasi memperoleh pendapatan dari persentase bunga tetap yang besarnya dikaitkan dengan jangka waktu dan besarnya pinjaman.
Bank syariah juga seperti halnya dengan bank konvensional memperoleh keuntungan dari hasil alokasi dana dikurangi biaya perolehan dana, namun secara teknis operasional atau aplikasinya menjauhkan diri dari praktik bunga dan menggantinya dengan prinsip bagi hasil.  
Bank syariah dalam menghimpun dana pada dasarnya menggunkan system bagi hasil (profit and loss  sharing) dengan para nasabah investor (deposan, penabung, giran) yang dikenal dengan system kemitraan, yang dapat berbentuk Al Mudharabah, al wadi’ah yad adh-dhamana. Pemegang saham sebagai syirkah atau pemilik mempunyai hak deviden bank. Sedangkan dalam penyaluran dana Bank syariah melakukan kegiatan Al-murabahah, Al-musyarakah, al mudarabah, ijarah dan pemberian jasa-jasa bank.  
Kegiatan penyaluran dana Bank syariah seperti Al Murabahah, Al-Musyarakah. al-mudharabah, Ijarah adalah praktik bisnis dengan sistem pembiayaan.  Perolehan hasil atau keuntungan dari prinsip Al-Murabahah dan Ijarah sesuai dengan nisbah kesepakatan antara kedua belah pihak yang sudah ditentukan pada awal kontrak atau perjanjian. Prinsip al-murabahah dan al-ijarah termasuk dalam Natural Containty Contracts ( NCC) karena cash flow, return sudah pasti, (Adiwarman A. Karim ,2008 : 72-74).  Pola pikir seperti ini masih melekat pada sebagian besar bangsa Indonesia sebagai akibat teori dan praktik bisnis bangsa barat yang telah ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia dan merupakan alasan mengapa prinsip murabahah lebih marak di pasar pembiayaan perbankan syariah
Murabahah (jual-beli) berdasarkan objek investasinya dikenal 5 macam, , yaitu :
1.      al-murabahah (jual-beli, al-Bai’) dikenal dengan prinsip Al-Bai’ Naqdan, Al-Bai’- Muajjal, Al-Bai’-taqsith, Al-Bai’-Salam, Al-Bai-istishna.  Terdapat perbedaan pengertian antara murabahah dengan Al-Bai’, yaitu al-Murabahah penjual harus memberi tahukan pembeli keuntungan yang diperoleh dari penjualan barang tersebut, sedangkan pada prinsip al-Bai, penjual tidak harus memberitahukan perolehan keuntungan dari transaksi penjualan  barang tersebut (Adiwarman A. Karim ,2008 : 75-79)
2.      Al-Ijarah (sewa-menyewa), dikenal 3 macam bentuk, yaitu
a.       Al-Ijarah digunakan dalam usaha mendapatkan manfaat barang dan jasa. Al- Ijarah yang diperuntukkan untuk barang disebut sewa-menyewa. Al-ijarah yang digunakan untuk mendapatkan manfaat jasa tenaga kerja tanpa memperhitunkan kinerja disebut upah-mengupah. Dengan demikian prinsip Sewa menyewa atau upah-mengupah yang pembayarannya tidak berdasarkan kinerja disebut Ijarah.
b.      Al-Ijarah (Sewa-menyewa atau upah-mengupah)  yang pembayarannya berdasarkan kinerja disebut Ju’alah.  
c.       Al-Ijarah yang memberikan kesempatan kepada penyewa untuk memiliki barang sewaan pada akhir periode secara membeli atau hibah yang diperjanjikan pada awal akad disebut Ijaran Muntahia Bit-Tamlik (IMBT).
Kegiatan bisnis prinsip murabahah dan ijarah menggunakan Teori Pertukaran ( Adiwarman A. Karim ,2008 : 70-74)
Kegiatan bisnis Bank Syariah yang menggunakan prinsip al Musyarakah nisbahnya ditentukan pada awal perjanjian atau kontrak  atau akad al-musyarakah, tetapi besarnya perolehan hasil  tergantung dari keuntungan usaha yang diperoleh dari investasi itu,  cash flow dan return investment tidak pasti, sehingga dikelompok sebagai Naturan Uncertainty Contracts. Berdasarkan objek investasinya dikenal 5 macam, yaitu mufawadah, ‘Inan,  Abdan,  wujuh, mudharabah, Kegiatan bisnis ini menggunakan Teori Percampuran (Adiwarman A. Karim ,2008 : 75-79)  
Bank syariah tidak mengenal pengerahan dana dan pemberian pinjaman (kredit) dengan system bunga. Bank syariah dapat memberikan pinjaman kepada fakir miskin yang membutuhkan tanpa bunga (qardh al Hasan) yang sumber dananya berasal dari dana zakat, infaq, sadaqah (Adiwarman A. Karim ,2008 : 69).  
Bank Syariah dalam melakukan kegiatan usaha, mereka berada di bawah pengawasan Bank Sentral ( Bank Indonesia) terutama yang berkaitan pengaturan likuiditas dan pengendalian uang yang beradar. Menurut UU No 7/1992 yang diubah dengan UU no 10/1998 tetntang Perbankan serta UU No 21/2008 tentang Bank Syariah menetapkan bahwa bank syariah diwajibkan menyimpan dana simpanan wajib minimum sebesar 8 %.
Bank-bank Konvensional dalam operionalnya, jika mengalami kesulitan likuiditas dapat menggunakan Pasar uang dan Pasar modal dengan berbagai instrument, seperti fasilitas diskonto (discount rate),  fasilitas Bank Indonesia (FASBI), Sertifikat Bank Indoensia (SBI), saldo giro wajib minimum (likuiditas), pagu kredit, operasi pasar terbuka.  Sedangkan pada Bank syariah bila mengalami kesulitan likuiditas tidak dapat menggunakan instrument-intrumen tersebut di atas,  kecuali simpanan giro wajib minimum, dan efek-efek (khusus saham). Obligasi merupakan surat pengakuan hutang berbunga) dan instrument lainnya tidak bisa digunakan oleh Bank Syariah karena instrument-intrumen tersebut tidak dapat melepaskan diri dari bunga (rate).
Resiko kesulitan likuiditas adalah resiko yang potensial terjadi pada setiap lembaga keuangan perbankan, karena adanya penarikan yang cukup besar dari nasabah. Bank syariah juga sangat potensial dari kemungkinan kesulitan likuiditas karena dana yang tertanam pada kegiatan-kegiatan bisnis musyarakah, mudharabah dan piutang murabahah tidak mudah dicairkan dalam waktu singkat bila terjadi penarikan besar dari investor khususnya dari nasabah Giro Al-Wadi’ah dan nasabah Tabungan Al-wadiah, sehingga diperlukan cadangan likuiditas yang cukup besar, cadangan saham yang marketable seperti saham-saham pemerintah yang bebas bunga, atau saham-saham perusahaan yang mudah dicairkan guna menutup kekurangan likuiditas. Namun demikian, dengan perkembangan bisnis yang semakin maju pesat menutut kita untuk memikirkan dan menciptakan instrument-instrumen yang bebas bunga yang dapat menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Syariah, agar tidak terjadi kesulitan likuiditas dikemudian hari yang dapat berakibat kegagalan sistemik perbankan syariah.
2.      Rumusan Masalah :
2.1.            Bagaimanakah realisasi penghimpunan dan penyaluran dana nasabah industri perbankan syariah
2.2.            Produk-produk apakah yang mendominasi kegiatan bisnis industri perbankan syariah.   
3.      Tujuan Penulisan
3.1.            Untuk mengetahui realisasi  penghimpunan dan penyaluran dana masyakat pada perbankan Syariah.
3.2.            Untuk mengetahui Produk-produk yang mendominasi  kegiatan bisnis industri Perbankan Syariah
4.      Kegunaan Penelitian
Hasil  Penelitian  akan digunakan sebagai bahan referensi atau bahan bacaan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
             Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan pangkat akademik dosen STAI Polewali Mandar
5.      Jenis dan Sumber Data
Data Sekunder diperoleh dari kepustakaan (library research), dengan membaca buku-buku, peraturan perundang-undangan.
6.      Metode penelitian :
-          Memfokuskan penelitian pada produk-produk penghimpunan dana masyarakat yang berupa giro wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Produk-produk ini ditawarkan kepada masyarakat yang bermaksud menginvestasikan dananya.
-          Memfokuskan penelitian juga pada produk-produk penyaluran dana kepada masyarakat yang berupa pembiayaan musyarakah, mudharabah, piutang murabahah, piutang salam, piutang istishna, dan lain-lain.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.         Konsep Dasar Operasional Perbankan Syariah
1.      Beberapa Pengertian
1.1 . A k a d
Menurut Adiwarman A. Karim (2008 : 65-78) bahwa setiap kesepakatan bisnis antara sahibul-maal dan mudharib atau antara bank syariah dengan nasabahnya dalam melakukan transaksi selalu di awali dengan akad atau kontrak. Akad atau kontrak melibat dua pihak atau lebih, masing-masing pihak yang terikat dalam kontrak mempunyai hak dan kewajiban. Akad berbeda dengan Wa’ad yang merupakan janji (promise) dari satu pihak kepada pihak lainnya, dalam arti wa’ad hanya mengikat satu pihak yaitu pihak yang memberi janji untuk memikul kewajiban, Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa. Akad secara garis besar terdiri dari 2 yaitu Akad Tabarru dan Akad Tijarah.
1.1.1.       Akad Tabarru (transaksi social).
        Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 : 70)  yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut nirlaba, dapat dibedakan menjadi 3 macam,  yaitu:
a).  H a r t a  :
-   Q a r d adalah suatu akad yang mengatur ketentuan meminjamkan harta tanpa mensyaratkan imbalan apapun kecuali kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
-     R a h n adalah suatu akad yang mengatur ketentuan  meminjamkan harta yang harus disertai agunan (jaminan) atas pengembalian pinjaman.
- Hiwalah adalah suatu akad yang mengatur tentang ketentuan meminjamkan harta untuk mengambil-alih pinjaman yang bersangkutan dari pihak lain

b).  J a s a  :
Menurut Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 120) Wakalah atau wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Landasan hukumnya (al-Kahfi : 19) dan hadis (Malik no. 678, Kitab al-Muwaththa’,bab Haji).
-  Al-Wakalah Menurut Adiwarman A. Karim (2008 : 68) adalah suatu akad yang mengatur ketentuan meminjamkan jasa atau melakukan sesuatu ( keterampilan kita ) untuk orang lain
-  Al-Wadi’ah  adalah suatu akad yang mengatur  ketentuan tentang pemberian jasa pemeliharaan, terdiri dari 2 macam yaitu wadi’ah yad adh-dhamanah dan wadi’ah yad al- amanah.
-  Al-Kafalah adalah suatu akad yang mengatur ketentuan tentang persiapan diri untuk melakukan sesuatu kewajiban bila terjadi sesuatu hal, misalnya penerbitan Bank Garansi
c). Pemberian sesuatu harta misalnya hibah, waqf, shadaqah, hadiah dll
1.1.2. Akad Tijarah (transaksi komersil).
    Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 : 70) bahwa akad tijarah merupakan  segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dibuat dengan tujuan mencari keuntungan yang bersifat komersil, dibedakan atas 2 kelompok, yaitu :
1). Natural Certainty Contracts (NCC) yaitu akad bisnis yang memberikan kepastian pendapatan (return), cash flow dan timing-nya pasti, seperti akad atau kontrak jual beli (al Bai’,  al-murabahah) dan sewa-menyewa (al-ijarah). Prinsip bisnis ini menggunakan Teori Pertukaran.
2). Natural Uncertainty Contracts (NUC)  yaitu akad bisnis yang tidak memberikan kepastian penerimaan pendapatan (return), cash flow dan timingnya tidak pasti, hasil keuntungan atau return bergantung kepada hasil investasi seperti al Musyarakah, al-mudharabah, al-muzarah, Al-mukhabarah dan Al-musaqat.  Prinsip bisnis ini menggunakan Teori Percampuran.
2.     Sistem Penghimpunan Dana
Menurut Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 146) bahwa pada dasarnya dana Bank Syariah bersumber dari  modal, titipan dan investasi dari sahibul-maal.
2.1.     Modal
Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner). Pada akhir tahun buku pemilik modal akan memperoleh bagian hasil usaha yang disebut deviden. Dana modal ini digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan kantor, dan sebagainya yang secara tidak langsung menghasilkan (fixed asset/non earning asset), Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat dilakukan melalui musyarakah fi sahm asy-syarikah (equity participation) pada saham perseroan bank.  Menurut M. Umer Capra dan Tariqullah Khan (2008 : 3 ) para pemodal dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah sarraf.

2.2. Titipan.
Salah satu cara yang dugunakan Bank Syariah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan dengan akad al-wadiah. Al-wadi’ah dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah. Konsep  Wadi’ah yad al-amanah  diartikan sebagai pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, hanya dapat membebankan biaya penitipan kepada penitip, Sedangkan konsep wadi’ah yad adh-dhamanah diartikan sebagai pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak bank akan mendapatkan hasil dari pengguna dana (pengelola dana), sehingga bank dapat memberikan bonus kepada penitip (Muhammad Syafi’i Antonio , 2001 : 148-150).
2.3.    Investasi
 Muhammad Syafi’i Antonio , (2001 : 150) mengatakan bahwa, akad yang sesuai dengan prinsip ini, adalah Al-mudharabah dengan tujuan kerjasama  antara pemilik dana (sahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib) dalam hal ini bank. Seacara garis besar dibagi menjadi 2 jenis, yaitu


2.3.1.       Mudharabah Muthlaqah (General Investment)
Sahibul maal tidak memberikan batasan-batasan (restriction) atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib diberi wewenang penuh untuk mengelola dana tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanan. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah time deposit biasa.
2.3.2.          Mudharabah Muqayyadah
Sahibul maal memberikan batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai batasan-batasan yang diberikan oleh sahibul maal, misalnya hanya untuk jenis usaha tertentu, tempat tertentu, waktu tertentu dan lain-lain. Aplikasi perbankan syariah yang sesuai dengan akad ini adalah Special investment. Produk ini sangat sesuai dengan company  yang memiliki kecenderungan investasi khusus, investor tidak perlu menanggung overhead cost bank  terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus dengan turn dan cost yang dihitung secara khusus pula.  
Bank syariah menghimpun dana dari para investor yaitu pemegang saham, giran, deposan dan penabung.  Dana deposan dan penabung dapat bersifat mudharabah muthlaqah atau Unrestricted Investment Account (URIA) dan dapat juga bersifat Restricted Investment Account (RIA) atau mudharabah muqayyadah tergantung permintaan nasabah yang dituangkan ke dalam akad yang dibuat antara nasabah dengan bank syariah.
Dana syirkah dari pemegang saham, digunakan untuk investasi gedung, peralatan kantor, kendaraan kantor dan yang lainnya bersifat URIA artinya bank bebas menggunakan untuk kegiatan-kegiatan bisnis dan biaya operasional bank. Dana giro merupakan titipan yang dapat dimanfaatkan oleh bank dengan resiko sepenuhnya berada pada Bank Syariah atau dikenal dengan istilah Al-wadiah yad Adh-dhamanah. Dana tabungan dapat bersifat wadi’ah yad adh-dhamanah dan dapat bersifat Al Mudharabah. Dana Deposito bersifat Al-Mudharabah yang apabila ditempatkan pada Al-Murabahah,  Al- Muajjal, Al-Bai’-Taqsith, Istishna, atau  as Salam dapat diperhitungkan bagi hasilnya setiap bulan atau pada saat jatuh tempo.
Dana mudharabah muqayyadah (RIA) dapat bersifat on balance sheet dan dapat pula bersifat off balance sheet (sahibul maal bermitra langsung kepada mudharib, yaitu bank hanya menerima fee karena sebagai perantara).
Dana-dana yang berasal dari investor (sahibul maal) tersebut di atas yang dikelola oleh Bank syariah semuanya dengan system bagi hasil yang  dapat diperhitungkan setiap bulan (URIA) atau saat jatuh tempo deposit dan dapat juga setiap akhir tahun yang besarnya tergantung pada keuntungan yang diperoleh Bank syariah, besarnya deposit dan jangka waktunya.
3.     Sistem Penyaluran dana
Skema produk perbankan syariah secara alami merujuk kepada tiga kategori kegiatan ekonomi, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Usaha yang bersifat produktif difasilitasi melalui skema profit sharing yaitu mudharabah dan partnership (musyarakah). Usaha yang bersifat distributif memanfaatkan hasil-hasil produk, dilakukan melalui skema jual-beli (murabahah) dan sewa-menyewa (ijarah). Yang bersifat Konsumtif berupa barang yang ready stock dapat difasilitasi melalui murabahah, salam untuk goods in process berjangka pendek serta istishna untuk goods in process berjangka panjang. Sedangkan bila bersifat konsumtif berupa jasa, maka dapat difasilitasi melalui ijarah.  

3.1.      Al Murabahah (jual-beli) atau Al Bai’
Menurut M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan (2008 : xxiii) bahwa istilah umum bagi model pembiayaan berbasis jual-beli di dalam system keuangan Islam. Al Bai  tidak mensyaratkan pemberitahuan kepada pembeli tentang keuntungan barang. Bila keuntungan penjual diberitahukan kepada pembeli pada awal akad, disebut Al Murabahah (Adiwarman Azwar Karim ,2008 : 73). Dalam akad Jual-beli ini, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan assetnya, baik real asset (ayn) maupun financial asset (dayn) dan masing-masing pihak tetap berdiri sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru).
Al-Murabahah atau Al Bai’ (jual-beli) merupakan konsep bisnis Natural certainty Contracts, di mana cash flow, timing-nya, dan tingkat return investasinya dapat dipastikan. Konsep bisnis ini menggunakan Teori Pertukaran yang bila ditinjau dari segi objek pertukarannya,  dapat diidentifikasikan atas 3 jenis,  Yaitu
-             Pertukaran real asset (ayn) dengan real asset (ayn) = ayn + ayn
-             Pertukaran real asset (ayn) dengan financial asset (dayn) = ayn + dayn
-             Pertukaran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) = dayn + dayn, contoh :
Kedua belah pihak saling mempertukarkan asset yang dimilikinya, misalnya Objek Pertukaraan adalah real asset (ayn) dengan financial asset (dayn). Real asset terdiri dari 2 jenis yaitu barang dan jasa, sedang financial asset juga terdiri dari 2 jenis yaitu uang dan bukan uang (surat berharga). Bila objek pertukaran real asset (ayn) adalah barang dengan financial asset (dayn) adalah uang, maka disebut jual beli. Bila yang dipertukarkan adalah jasa dengan financial asset (dayn) adalah uang, maka disebut sewa-menyewa atau upah-mengupah.  Baik berupa barang maupun jasa harus ditetapkan akadnya  pad awal pembuatan akad dengan pasti, mengenai jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), waktu penyerahannya (time of delivery). Kontrak-kontrak ini menawarkan return yang tetap dan pasti, seperti akad jual-beli (al Bai’, Salam dan Istishna),  Akad sewa-menyewa (ijarah dan Ijarah Muntahia Bit-tamlik/IMBT), sehingga disebut Natural Certainty contracts (NCC).
Di atas telah disebutkan bahwa prinsip jual beli atau al murabahah ini  pada umumnya dikenal 5 macam, yaitu :
-          Al Bai’ Naqdan yaitu jual-beli  barang secara tunai pada saat ini
-          Al Bai’ muajjal yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran tangguh secara lump sum (barang diterima duluan, pembayaran secara lump sum belakangan),
-          Al Bai’ Taqsith yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran tangguh secara angsuran (barang diterima duluan, pembayaran secara cicilan belakangan),
-          Al Bai’ Salam yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran secara lump sum di muka sebelum barang diterima  (pembayaran duluan secara lump sum, barang belakangan).
-          Al Bai’ Istishna yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran secara angsuran di muka sebelum barang diterima (pembayaran secara cicilan duluan, barang belakangan)
Transaksi Al Bai’Naqdan biasanya dilakukan antara supplier dengan Bank Syariah dengan maksud untuk dijual kembali oleh Bank Syariah kepada nasabahnya dengan pembayaran berjangka, baik secara muajjal maupun secara taqsith. Dalam hal ini harga disepakati terlebih dahulu antara bank syariah dengan nasabahnya (pembeli) termasuk keuntungan bagi Bank Syariah. Cash flow dan timing-nya dalam transaksi ini dapat ditentukan, maka sumber dana yang dapat digunakan dalam transaksi ini adalah URIA (unrestricted investment account)  yang memungkinkan dilakukan pembagian hasil setiap bulan
Transasi jual-beli as- salam biasanya transaksi ini dilakukan oleh Bank dengan supplier berdasarkan pesanan nasabah dengan pembayaran lebih dahulu sebelum barang diserahkan atau antara bank dengan kontraktor bangunan atas pesanan nasabah. Hal ini juga biasa terjadi bila petani (nasabah) memerlukan dana sebelum  hasil pertaniannya dipanen, tapi kuantitas, kualitas dan harga ditetapkan terlebih dahulu dalam akad as-salam.
Transaksi istishna dapat diterapkan pada nasabah yang memerlukan pembangunan rumah atau bangunan, bank membayar kontraktor secara bertahap sesuai dengan bangunan yang telah diselesaikan. Pada akhir pembangunan (periode) pembayaran dari bank lunas dan kontraktor menyerahkan rumah kepada bank untuk selanjutnya diserahkan kepada nasabah dengan harga yang telah disepakati terlebih dahulu termasuk keuntungan bank.
3.2.      Ijarah (sewa-menyewa)

Bila yang dipertukarkan adalah jasa dengan financial asset (dayn) adalah uang maka disebut sewa-menyewa atau upah-mengupah.
- Ijarah : sewa tanpa peralihan kepemilikan dan tidak memperhitungkan kinerja, misalnya upah harian, sedangkan  ijarah yang memperhitungkan kinerja disebut ju’alah misalnya upah borongan.
- Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT) : sewa yang memungkinkan peralihan kepemilikan pada akhir periode kontrak.

3.3.         Al-Musyarakah dan Al-Mudharabah
Konsep bisnis Natural Uncertainty Contracts, di mana cash flow, timing-nya, dan tingkat return investasinya tidak dapat dipastikan karena sangat bergantung pada hasil investasi. Konsep bisnis ini menggunakan Teori Percampuran, yang bila ditinjau dari segi objek percampurannya,  dapat didentifikasi atas 3 jenis, yaitu :
-       Percampuran real asset (ayn) dengan real asset (ayn) = ayn + ayn
-       Percampuran real asset (ayn) dengan financial asset (dayn) = ayn + dayn
-       Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) = dayn+dayn
a.          Percampuran ayn dengan ayn :
Percampuran ayn dengan ayn misalnya terjadi pada syirkah ‘abdan, yaitu seorang tukang batu bekerjasama dengan tukang kayu dalam membangun sebuah proyek perumahan, keduanya sama-sama menggabungkan tenaga dan keahliannya. Keuntungan dan kerugian ditnggung bersama berdasarkan nisbah yang telah ditentukan di awal kerjasama.
b.          Percampuran Ayn dengan Dayn.
Percampuran ayn (real asset) dengan dayn (financial asset) dapat berbentuk syirkah mudharabah dan syirkah wujuh.
Syirkah Al-Mudharabah artinya dua orang yang berserikat mencampurkan modal mereka. Seorang yang memiliki modal harta (dayn) disebut sahibul maal  dengan seorang yang memiliki modal jasa keahlian atau keterampilan (ayn) yang disebut mudharib, dirumuskan ( Rp x + A). Keuntungan yang diperoleh dari usaha kerjasama ini dibagi berdasarkan nisbah, Sedangkan kerugian usaha hanya dibebankan kepada sahibul maal. Mudharib hanya menderita kerugian jasa (tenaga dan keahlian tidak mendapat imbalan).
Syirkah Wujuh pihak yang berserikat mencampurkan modal dengan reputasi atau nama baik seseorang ( Rp x + *F). Pemilik modal memperoleh keuntungan bagi hasil dengan pemilik modal jasa berupa reputasi baik berdasarkan nisbah yang telah ditentukan di awal kerja sama, bila usaha mengalami kerugian maka kerugian hanya dibebankan kepada sahibul maal.  Demikian juga pada Al-Muzara’ah, Al-Mukhabarah dan Al-Musaqat = perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap.


  c.    Percampuran dayn dengan dyan.
Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) dapat berbentuk syirkah mufawadah, syirkah ‘inan.
Syirkah Mufawadah artinya dua pihak atau lebih yang berserikat mencampurkan modal yang sama jumlahnya, masing-masing memperoleh keuntungan atau bagi hasil yang sama besarnya dan kerugian juga sama besarnya, dirumuskan ( Rp x + Rp x).
Syirkah inan  pihak yang berserikat mencampurkan modal yang tidak sama jumlahnya, dirumuskan (Rp x + Rp Y), keuntungan bagi hasil tidak sama besarnya berdasarkn nisbah dan kerugian juga secara proporsional dengan jumlah modal yang disetorkan
Syirkah dayn dengan dayn lainnya adalah financial asset non uang (surat berharga) yang digabungkan, misalnya saham PT x dengan saham PT Y .

B.        Desain Akad Pembiayaan Syariah
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 : 83) bahwa pembahasan suatu akad pembiayaan syariah diperlukan 4 (empat) teknik  untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah, yaitu :
1.  Memahami Karakteristik kebutuhan Nasabah
Teknik pertama yang perlu dilakukan dalam mendisain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami karakteristik kebutuhan nasabah, yang terdiri dari 2 hal, yaitu :
1.1.  Objek Pembiayaan
      Bilamana objek pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah barang, maka harus dilihat apakah barang tersebut ready stock atau goods in process. Jika ready stock., maka pembiayaan yang layak diberikan kepada nasabah adalah murabahah, namun jika barang tersebut berupa goods in process harus dilihat waktu prosesnya pendek atau panjang. Bila goods in process pendek, maka pembiayaan yang tepat adalah pembiayaan salam dengan asumsi nasabah akan mampu menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu pendek sekaligus, tetapi bila goods in process panjang, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah pembiayaan istishna.
Di sisi lain apabila objek pembiayan yang dibutuhkan nasabah adalah jasa, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah pembiayaan ijarah.
           
1.2.  Kegunaan Pembiayaan
1. 2.1.  Untuk Modal Kerja
Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 161) mengatakan bahwa Bank Syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja nasabah bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (sahibul maal), Sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo nasabah mengembalikan dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian bank. Pembiayaan Modal kerja meliputi :
1). pembiayaan likuiditas yaitu Bank syariah menyediakan fasilitas berupa qardh timbal-balik (compensating balance), melalui fasilitas ini nasabah membuka rekening giro. Bila nasabah mengalami mismatched nasabah dapat menarik dana saldo yang tersedia sampai jumlah yang telah disepakati dalam akad, atas fasilitas ini bank tidak minta imbalan (Muhammad Syafi’I Antonio ,2001 : 162)
2). Pembiayaan Piutang (Receivable Financing), yaitu Bank memberikan pinjaman kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman ini bank minta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Dalam pembiayaan piutang ini, Bank Syariah hanya boleh memberikan fasilitas al-qardh dan tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi (Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 162).
3).  Anjak Piutang (Factoring) yaitu fasilitas pengambil alihan piutang nasabah. Untuk keperluan itu nasbah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak berutang atau Promes (promissory notes) yang diterbitkan oleh pihak yang berutang kemudian di endors oleh nasabah. Dalam pembiayaan anjak piutang ini,  Bank Syariah dapat melakukan al-qardh dan tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi (Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 163)


4).   Pembiayaan Persediaan (inventory Financing)
Bank Syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan, yaitu antara lain menggunakan prinsip jual-beli (al-bai’) dalam dua tahap. Tahap pertama membeli dari supplier secara tunai barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah, dan tahap kedua Bank Syariah menjual kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah. Ada beberapa skema jual-beli yang digunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut, yaitu Bai’-al Murabahah, Bai’ al-Istishna, Bai as-Salam. Bila produksi dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal kerja tersebut telah sedemikian cepatnya sehingga nasbah memerlukan pembiayaan modal kerja secara evergreen, maka skema pembiayaan  yang paling tepat adalah al-mudharabah (Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 163)
5).  Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target pembeli ssiapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan oleh penjual, baik pedagang eceran (retailer), maupun pedagang besar (whole seller). Perputaran modal kerja (working capital turn-over) pedagang semacam ini sangat tinggi dan pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup sehingga skema yang paling tepat adalah skema mudharabah (Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 166)
6). Perdagangan Berdasarkan Pesanan.
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan ditempat penjual, misalnya pedagang antarkota, perdagangan antarpulau, perdagangan antarnegara. Pembeli terlebih dahulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli membayar setelah barang yang dipesan telah diterima, untuk menghindari resiko akibat ketidak mampuan penjual untuk mengirimkan barang sesuai yang dipesan. Demikian juga sebaliknya menghadapi kemungkinan resiko tidak dibayarnya oleh pembeli, sehingga untuk mengatasi permasalahan kedua belah pihak, maka Bank Syariah telah mengadopsi mekanisme L/C (Letter of Credit) Bank Konvensional dengan menggunakan skema al-wakalah, al-musyarakah, al-mudharabah, ataupun al murabahah. Dalam hal al-wakalah, Bank syariah hanya memperoleh pendapatan fee atau jasa (Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 166)
Secara analisis system pembiayaan modal kerja ini, dipaparkan oleh Adiwarman Azwar Karim (2008 :85) sebagai berikut, bahwa hal yang harus dicermati adalah apakah barang atau jasa yang dibutuhkan nasabah akan digunakan untuk kegiatan produktif atau konsumtif. Bila kegunaan pembiayaan yang dibutuhkan untuk kegiatan produktif, maka harus dilihat apakah untuk modal kerja atau investasi. Bila digunakan untuk modal kerja, harus dilihat apakah mempunyai kontrak atau tidak. Jika mempunyai kontrak harus dilihat apakah pembiayaan tersebut digunakan untuk pekerjaan kontruksi atau pengadaan barang. Bila untuk pekerjaan konstruksi, maka pembiayaan yang layak diberikan oleh Bank Syariah adalah pembiayaan istishna, namun jika untuk pengadaan barang, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah mudharabah. Bila nasabah tidak mempunyai kontrak, harus dilihat apakah barang ready stock atau goods in process. Jika ready stock, maka pembiayaan yang layak oleh Bank Syariah adalah murabahah, namun jika goods in process yang jangka waktunya pendek, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan salam. Jika goods in Process berjangka waktu panjang, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah pembiayaan istishna.

1.2.2.  Modal investasi
         Pembiayaan investasi, Bank Syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah, yaitu Bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali. Skema lain yang dapat digunakan oleh Bank Syariah adalah al-ijarah al muntahia bit-tamlik yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan  (Muhammad Syafi’i Antonio ,2001 : 167). Secara analisis Adiwarman Azwar Karim (2008 :86) memaparkan sebagai berikut, bahwa bila barang atau jasa untuk digunakan sebagai investasi, maka dilihat apakah pembiayaan dimaksud untuk barang ready stock atau goods in process . Jika ready stock berjangka panjang, maka pembiayaan yang diberikan adalah Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT), tetapi jika berjangka pendek, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah murabahah. Jika kegunaan barang untuk goods in process berjangka waktu panjang, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan istishna, tetapi jika goods in process berjangka pendek, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan salam. Jika kegunaan pembiayaan adalah untuk kegiatan konsumtif yang berbentuk barang yang ready stock, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah pembiayaan murabahah. Jika kegunaan pembiayaan bersifat konsumtif berbentuk barang goods in process jangka pendek, maka pembiayaan yang layak adalah pembiyaan salam, tetapi jika berjangka panjang, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan istishna. Sedangkan jika kegiatan kegunaan konsumtif tersebut berbentuk jasa, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan ijarah.            

2.     Memahami Kemampuan Nasabah
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 :88) bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah apakah sumber pendapatan nasabah dapat diprediksikan (highly predictable) atau tidak. Jika highly predictable, apakah termasuk pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika pekerjaan konstruksi yang highly predictable , maka pembiayaan yang layak diberikan adalah pembiayaan istishna, namun jika untuk pengadaan barang, maka pembiayaannya adalah mudharabah. Jika sumber pendapatan nasabah tidak termasuk ke dalam kategori highly predictable, tetapi pembiayaan ready stock , maka pembiayaan yang layak diberikan adalah murabahah. Jika pembiayaan goods in process berjangka kurang dari 6 bulan, maka pembiayan salam, Jika lebih 6 bulan maka yang diberikan adalah istishna’.     
3.     Memahami Karakteristik Sumber Dana Pihak Ketiga bagi Bank
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 :89) bahwa teknik ketiga yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan syariah adalah memahami karakteristik sumber dana pihak ketiga yang pada hakikatnya ditjukan untuk mendapatkan
1). Kepastian bank terhadap pemenuhan cash out bank dalam memberikan pembiayaan, apakah dapat tertutupi dari pembayaran ( cash in ) dari nasabah
2). Kepastian bank terhadap kewajiban pemberian bagi hasil kepada pihak ketiga, apakah dapat tertutupi dari pembayaran nasabah ( cash ini ).
Dalam hal cash in bank, harus diperhatikan faktor grace period pembayaran nasabah yaitu suatu tenggang waktu yang diberikan oleh bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran cicilan sampai waktu tertentu. Sebagai konsekuensi dari grace period  bank tidak akan menerima cash in dalam periode tersebut, sehingga bank tidak mampu memberikan bagi hasil kepada nasabah penyimpan dana. Oleh karena itu harus dicermati apakah nasabah yang dibiayai tersebut melakukan pembayaran secara installment atau secara lump sum di akhir kontrak. Bila installment berarti bank masih mampu memberikan bagi hasil kepada nasabah peyimpan dana sesuai dengan cash in baik secara bulanan maupun nonbulanan. Jika pembayaran tidak dilakukan secara bulanan oleh nasabah yang mendapat pembiayaan, maka bank dapat menggunakan sumber dana RIA (mudharabah muqayyadah) yaitu sumber dana yang hanya dapat digunakan pada waktu, tempat atau objek tertentu.
4.        Memahami Akad Fiqih yang Tepat
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 : 94) bahwa sebuah transaksi tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam, baik dilarang karena zatnya haram, maupun haram selain zatnya karena mengandung tadlis (penipuan), ba’i najasy (rekayasa pasar dalam demand), gharar (ketidak pastian kedua belah pihak yang bertransaksi) dan riba (riba fadl =riba yang timbul karena pertukaran barang yang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya, sama waktu penyerahannya, riba nasi’ah = riba yang timbul akibat utang
piutang, timbul karena adanya perbedaan, tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian,  riba jahiliyh= adalah utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman). Selain itu, tarnsaksi dilarang karena tidak sah akadnya yakni rukun dan syarat tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang salin berkaitan, dan berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2, dua akad dalam suatu transaksi secara bersamaan).
Di sisi lain harus diperhatikan juga akad itu, apakah termasuk kategori akad tabarru’ atau akad tijarah. Bila akad tabarru bank tidak bisa meminta kompensasi dari nasabah terhadap pelaksanaan suatu transaksi. Sebaliknya jika akad termasuk kategori akad tijarah, bank berhak memperoleh kompensasi dari nasabah atas pelaksanaan suatu transaksi.  Selanjutnya terhadap akad tijarah, kita dapat mengidentifikasi mana yang termasuk Natural Certainty Contracts (NCC) dan mana akad tijarah yang berbasis natural uncertainty contracts (NUC)  dengan tujuan untuk memperoleh kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu.











BAB 3
ANALISA DATA PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH
1.         Penghimpunan dan Penyaluran Dana
Bank Muamalah Indonesia merupakanBank Syariah yang pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1991 dan beroperasi sejak tahun 1992. Sampai dengan tahun 1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, namun sejak tahun 2005 jumlah Bank Syariah di Indonesia bertambah menjadi 20 unit (3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah) dan BPRS bertambah menjadi 88 buah.
Penulis sendiri tertarik meneliti mengenai produk-produk unggulan Bank Syariah setelah membaca laporan hasil penelitian Amir Machmud dan Rukmana yang mengadakan penelitian terhadap PT. Bank Muamalat Indonesia periode sebelum dan sesudah tahun 1998 (2010 : 92-93) yang menyimpulkan bahwa terjadi perkembangan yang signifikan kinerja penghimpunan dana dan penyaluran dana pada periode sebelum kebijakan tahun 1998 dan sesudah kebijakan tahun 1998 (kebijakan tahun 1998 dimaksud dengan diundangkannya UU No 10/1998 tetang perubahan UU No 7/1992 tentang Perbankan). Hasil penelitian tersebut mengelompokkan dua data yaitu  data dana yang terhimpun rata-rata pertahun dari 5 tahun pertama (sampai dengan tahun 1998) dan data penyaluran dana yang terealisir rata-rata pertahun dari 5 tahun pertama (sampai dengan tahun 1998). Demikian juga data sesudah tahun 1998 (sampai dengan tahun 2003) dikelompokkan sama seperti di atas. Setiap kelompok data diperinci jenis produk yang direalisasikan dengan angka realisasinya, berikut  hasil penelitian                                                                                           

Data Bank Muamalat Indonesia peride tahun 1994-2003
I. Rata-rata Dana Terhimpun Pertahun Periode 1994-2003
                                                                                                                                                                                                                                                                  1 = Rp 1 milyar
           Periode                      Giro           Tabungan         Deposito           SWM BI        S.Berharga          Bank Lain      Lain-2             Total
sebelum 1998        54,03         207,13                602,68                0.45                     0,50                           -                    -                    864, 79
sesudah 1998      185,35         369,32               800,75           163,04                      0,74                           -                   -                 1.519,20
Sumber data : hasil penelitian Amir Mahmud , (2010:92-93), diolah

Data di atas menunujukkan bahwa dalam usaha menghimpun dana PT. BMI dari masyarakat pemilik modal, adalah
-                 dana deposito mudharabah yang mendominasi, baik sebelum maupun sesudah tahun 1998, yaitu sebelum tahun 1998 rata-rata pertahun mencapai 62,18 % = Rp 602,68 milyar, sesudah tahun 1998 rata-rata pertahun mencapai 51,36 % =  Rp 800,75 milyar.
-                Disusul dengan dana tabungan mudharabah yaitu sebelum tahun 1998 rata-rata pertahun mencapai 21,37 % =  207,13 milyar, sesudah tahun 1998 rata-rata pertahun mencapai 23,69 % = Rp 369,32 milyar

II.          Rata-rata Dana yang  Disalurkan Pertahun  Periode 1994-2003                                                                                                                                                       1 = Rp 1 milyar
Periode                 Murabahah     Musyarakah    Mudharabah      SWM BI    S. Berharga        Bank Lain       Lain-2              Total
Sebelum 1998         319,19                  5,50                 21,81               21,91             55,08               7,89                  0,90               432.28
 Sesudah 1998        725,19               22,82               448,21             131,42            160.38           69,77                 0,83             1.700,82
   Istishna            141,74               Salam                 0,45
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber data : hasil penelitian Amir Mahmud (2010:92-93).  diolah
 
Data di atas menunujukkan bahwa usaha penyaluran dana PT. BMI kepada masyarakat, adalah
-             Pembiayaan murabahah mencapai angka rata-rata pertahun sebelum tahun 1998 adalah 73,28 % = Rp 319, 19 milyar .
-             Pembiayaan murabahah rata-rata pertahun sesudah tahun 1998 mencapai 42,64 % = Rp 725,19 milyar, ditambah dengan pembiayaan istishna = 8,33 % = Rp 141,74 milyar dan salam 0,03 % = Rp 0,45 milyar.
-             Disusul dengan pembiayaan mudharabah pada periode sesudah tahun 1998 dengan angka rata-rata pertahun 26,35 % = Rp 448,21 milyar. Sebelum tahun 1998 rata-rata pertahun pembiayaan mudharabah hanya mencapai 5,15 % = Rp 21,81 milyar
2.         Hasil Penelitian M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan
Menurut hasil penelitian M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan (2008 :5-6) bahwa Model pembiayaan yang tertinggi yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah (176 lembaga keuangan) sampai tahun 1997 adalah Murabahah 37,00 %, Musyarakah 19,00 %, Mudharabah 6 %,, Ijarah 9 % dan lainnya 29,00 .
Data kedua hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan yang tertinggi yang dilakukan oleh Bank Syariah didominasi oleh pembiayaan murabahah, baik sebelum maupun sesudah diundangkannya Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan syariah. Sesudah tahun 1998 realisasi pembiayaan mudharabah baru mengalami kenaikan, yaitu dari 5,15 % menjadi 26,35 % = Rp 448,21 milyar.
Data hasil penelitian Umer Chapra dan Tariqullah Khan menunjukkan angka realisasi mudharabah sampai tahun 1997 (sebelum tahun 1998) berkisar 6 % dari total dana yang direalisasikan, angka persentase ini hampir sama dengan angka rata-rata pertahun 5,15 % dari hasil penelitian Amir Machmud dan Rukmana.
Hasil penelitian kedua ahli tersebut di atas menyadarkan kepada kita bahwa peranan Bank Syariah dalam mendorong sektor riil di bidang pembiayaan mudharabah (investasi) sampai tahun 1998 belum memenuhi harapan kita, karena pembiayaan bisnis perbankan Syariah hanya bermain pada bidang perdagangan khususnya distribusi dan konsumsi (murabahah 73,28  %). Hal ini dapat dimengerti karena Bank Syariah pada waktu itu baru beroperasi kurang lebih lima tahun dan belum mengenal dengan baik nasabahnya, selain itu terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia dan Asia.  
Pembiayaan mudharabah dan al-musyarakah atau kemitraan bagi hasil di bidang produksi ( investasi )  yang menjadi andalan perbankan syariah dalam menggerakkan sektor riil khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM) dan pemberdayaan professi sumber daya manusia ( SDM ) baru mulai tampak setelah tahun 1998 atau setelah beroperasi kurang lebih 10 tahun dengan angka kenaikan yang cukup signifikan yaitu pembiayaan bisnis al-mudharabah naik dari 5,15 % = Rp 21,81 milyar menjadi menjadi 26,35 % = Rp 448,21 milyar, al musyarakah naik dari 1,34 % menjadi 8,34 % dari total penyaluran dana Bank Muamalat Indoensia.
Bank syariah pada mulanya masih sangat berhati-hati untuk menanamkan kepercayaan kepada mudharib, sehingga perbankan syariah lebih suka bermain pada sektor usaha yang memberikan pendapatan (return) yang pasti atau dapat dikatakan lebih menyukai pembiayaan yang bersifat Natural Certainty Contract seperti murabahah dan ijarah, namun setelah beroperasi 10 tahun dan sudah mempunyai pijakan atau dasar hukum operasional yang kuat, barulah perbankan syariah mengebangkan sayapnya pada bisnis investasi yang termasuk ke dalam Natural Uncertainty contract seperti al-musyarakah dan al-mudharabah sebagai suatu bisnis yang dapat menjanjikan perbaikan ekonomi usaha kecil menengah.


















BAB 4
P E N U T U P

1.         KESIMPULAN
Setelah 20 tahun sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia, Perbankan Syariah di Indonesia telah berkembang dengan pesatnya, ditandai dengan berdirinya ratusan kantor-kantor bank syariah, namun demikian sosialisasi secara intensif mengenai produk-produk bank syariah masih perlu dilakukan, khususnya mengenai  produk pembiayaan musyrakah dan mudharabah. Kedua produk ini masih belum memasyarakat di Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia sudah berpuluh-puluh tahun didoktrin dengan konsep perbankan barat dengan system bunga atau riba. Umat Islam sangat  memerlukan lembaga keuangan berbasis syariah untuk dapat menjalankan ajaran agamanya dengan baik.

2.         SARAN
        Pemikiran terhadap konsep produk-produk baru yang sesuai dengan syariah masih perlu terus dikembangkan, termasuk instrument-instrument baru pada pasar uang dan pasar modal yang bebas bunga atau riba, agar tidak menimbulkan masalah likuiditas dikemudian hari yang dapat berdampak buruk bagi bank syariah.



DAFTAR PUSTAK
Adiwarman  Azwar  Karim.  2008.  Bank  Islam  Analisis  Fiqih  dan  Keuangan.  RajaGrafindo
                           Persada. Jakarta.
Amir Mahmud dan Rukmana. 2010. Bank Syariah. Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing.  Mizan Pustaka
                        Bandung
M. Arifin Hamid.2007.Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia.Prospektif Sosia-Yuridis. Elsas. Jakarta
Hasan Aedy. 2007. Indahnya Ekonomi Islam. Alfabeta. Bandung.
Muchdarsyah Sinungan. 1987. Uang dan Bank. Bina Aksara.Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani Jakarta. 
Rahmadi Usman. 2012.Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Sinar Grafika.Jakarta
Sumantoro. 1986. Hukum Ekonomi. UI-Press.Jakarta
Umaer Chapra dan Tariqullah Khan. 2008. Regulasi & Pengawasan Bank Syariah. Bumi Akasara. Jakarta.


TINJAUAN PRODUK DOMINAN PERBANKAN SYARIAH DI INDOANESIA

D
I
B
U
A
T

Oleh
Drs. H. Tadjuddin Malik, SH.MH
STAI DDI Polewali Mandar
2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar