TINJAUAN PRODUK
DOMINAN PERBANKAN SYARIAH DI INDOANESIA
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
System Perbankan Syariah semakin hari semakin populer dan
berkembang yang ditandai dengan lahirnya lembaga keuangan bank, lembaga
keuangann non bank-bank, perusahaan-perusahaan yang menerapkan konsep syariah.
Salah satu cirinya adalah meninggalkan prinsip bunga atau riba dan menerapkan prinsip
bagi hasil. Indonesia dengan penduduk kurang lebih 220 juta orang, lebih 80 %
beragama Islam. Para pengusaha, individu yang agamais sudah mulai
mempertanyakan kehalalan operasional Bank Konvensional dengan system bunga atau
riba.
Islam melarang praktik muamalah yang mengandung dan dapat
menimbulkan riba sesuai dengan prinsip dasar ajaran islam. Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba, dan karena itu hukumnya haram.
Oleh karena itu, untuk melayani umat Islam yang begitu besar jumlahnya, diusahakan
adanya system perbankan yang beroperasi tidak mengenakan bunga kepada
nasabahnya atau lazim disebut perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Sistem yang
dipakai untuk membiayai aktivitas bisnis didasarkan pada konsep bagi hasil (profit and loss sharing) melalui model
pembiayaan mudharabah (kemitraan pasif), dan musyarakah (kemitraan aktif). Jual-beli tangguh dan pinjaman tanpa
bunga (Qardh al Hasan) juga dipakai untuk pembiayaan konsumtif dan transaksi
bisnis (Umer Chapra dan Tariqullah Khan,2008 : 2).
System
keuangan tanpa bunga dalam memobilisasi sumber-sumber keuangan untuk membiayai
usaha produktif, distribusi dan konsumtif. Usaha yang bersifat produktif
difasilitas melalui skema profit sharing
yaitu mudharabah dan partnership ( musyarakah). Usaha yang bersifat
distributif memanfaatkan hasil-hasil produk, dilakukan melalui skema jual-beli
(murabahah) dan sewa-menyewa (ijarah). Kebutuhan yang bersifat
Konsumtif berupa barang yang ready stock dapat
difasilitasi melalui murabahah, salam untuk goods in process berjangka pendek serta istishna untuk goods in
process berjangka panjang, Sedangkan bila bersifat konsumtif berupa jasa,
maka dapat difasilitasi melalui ijarah.
Berbeda halnya dengan perbankan konvensional yang selama ini
beroperasi di Indonesia sebagai lembaga keuangan bank menganut system penghimpunan
dan penyaluran dana dengan system bunga atau riba. Bank Konvensional ini
bersifat perantara (intermediasi) di
bidang keuangan, perantara antara investor atau pemilik modal (pemegang saham, penabung,
deposan) dengan pengelola atau pengguna modal (debitur) dan memperoleh
pendapatan sebagian besar dari selisih antara hasil penyaluran dana yang
disebut bunga kredit dengan biaya pengerahan atau biaya penghimpunan dana yang
disebut bunga dana dan biaya-biaya operasional lainnya.
Bank Konvensional dalam
kegiatannya memberikan kredit atau pinjaman baik kepada proyek investasi maupun
kepada pengusaha yang memerlukan modal kerja atau modal eksploitasi memperoleh
pendapatan dari persentase bunga tetap yang besarnya dikaitkan dengan jangka
waktu dan besarnya pinjaman.
Bank syariah juga seperti halnya dengan bank konvensional
memperoleh keuntungan dari hasil alokasi dana dikurangi biaya perolehan dana,
namun secara teknis operasional atau aplikasinya menjauhkan diri dari praktik bunga
dan menggantinya dengan prinsip bagi hasil.
Bank syariah dalam menghimpun dana pada dasarnya menggunkan system
bagi hasil (profit and loss sharing) dengan para nasabah investor
(deposan, penabung, giran) yang dikenal dengan system kemitraan, yang dapat
berbentuk Al Mudharabah, al wadi’ah yad adh-dhamana. Pemegang saham sebagai
syirkah atau pemilik mempunyai hak deviden bank. Sedangkan dalam penyaluran
dana Bank syariah melakukan kegiatan Al-murabahah, Al-musyarakah, al mudarabah,
ijarah dan pemberian jasa-jasa bank.
Kegiatan penyaluran dana Bank syariah seperti Al Murabahah, Al-Musyarakah.
al-mudharabah, Ijarah adalah praktik bisnis dengan sistem pembiayaan. Perolehan hasil atau keuntungan dari prinsip
Al-Murabahah dan Ijarah sesuai dengan nisbah kesepakatan antara kedua belah
pihak yang sudah ditentukan pada awal kontrak atau perjanjian. Prinsip
al-murabahah dan al-ijarah termasuk dalam Natural
Containty Contracts ( NCC) karena cash
flow, return sudah pasti, (Adiwarman A. Karim ,2008 : 72-74). Pola pikir seperti ini masih melekat pada
sebagian besar bangsa Indonesia sebagai akibat teori dan praktik bisnis bangsa
barat yang telah ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia dan
merupakan alasan mengapa prinsip murabahah lebih marak di pasar pembiayaan
perbankan syariah
Murabahah (jual-beli) berdasarkan objek investasinya dikenal 5
macam, , yaitu :
1.
al-murabahah (jual-beli,
al-Bai’) dikenal dengan prinsip Al-Bai’
Naqdan, Al-Bai’- Muajjal, Al-Bai’-taqsith, Al-Bai’-Salam, Al-Bai-istishna. Terdapat perbedaan pengertian antara murabahah
dengan Al-Bai’, yaitu al-Murabahah penjual harus memberi
tahukan pembeli keuntungan yang diperoleh dari penjualan barang tersebut, sedangkan
pada prinsip al-Bai, penjual tidak
harus memberitahukan perolehan keuntungan dari transaksi penjualan barang tersebut (Adiwarman A. Karim ,2008 :
75-79)
2.
Al-Ijarah (sewa-menyewa), dikenal 3 macam bentuk, yaitu
a. Al-Ijarah digunakan
dalam usaha mendapatkan manfaat barang dan jasa. Al- Ijarah yang diperuntukkan
untuk barang disebut sewa-menyewa. Al-ijarah yang digunakan untuk mendapatkan
manfaat jasa tenaga kerja tanpa memperhitunkan kinerja disebut upah-mengupah. Dengan
demikian prinsip Sewa menyewa atau upah-mengupah yang pembayarannya tidak berdasarkan
kinerja disebut Ijarah.
b. Al-Ijarah (Sewa-menyewa
atau upah-mengupah) yang pembayarannya
berdasarkan kinerja disebut Ju’alah.
c. Al-Ijarah
yang memberikan kesempatan kepada penyewa untuk memiliki barang sewaan pada
akhir periode secara membeli atau hibah yang diperjanjikan pada awal akad
disebut Ijaran Muntahia Bit-Tamlik (IMBT).
Kegiatan bisnis prinsip murabahah dan ijarah menggunakan
Teori Pertukaran ( Adiwarman A. Karim ,2008 : 70-74)
Kegiatan bisnis Bank Syariah yang menggunakan prinsip al Musyarakah nisbahnya ditentukan pada awal
perjanjian atau kontrak atau akad al-musyarakah,
tetapi besarnya perolehan hasil tergantung
dari keuntungan usaha yang diperoleh dari investasi itu, cash
flow dan return investment tidak pasti, sehingga dikelompok sebagai Naturan Uncertainty Contracts.
Berdasarkan objek investasinya dikenal 5 macam, yaitu mufawadah, ‘Inan, Abdan, wujuh, mudharabah, Kegiatan bisnis ini
menggunakan Teori Percampuran (Adiwarman A. Karim ,2008 : 75-79)
Bank syariah tidak mengenal pengerahan dana dan pemberian pinjaman
(kredit) dengan system bunga. Bank syariah dapat memberikan pinjaman kepada
fakir miskin yang membutuhkan tanpa bunga (qardh al Hasan) yang sumber dananya
berasal dari dana zakat, infaq, sadaqah (Adiwarman A. Karim ,2008 : 69).
Bank Syariah dalam melakukan kegiatan usaha, mereka berada di
bawah pengawasan Bank Sentral ( Bank Indonesia) terutama yang berkaitan
pengaturan likuiditas dan pengendalian uang yang beradar. Menurut UU No 7/1992
yang diubah dengan UU no 10/1998 tetntang Perbankan serta UU No 21/2008 tentang
Bank Syariah menetapkan bahwa bank syariah diwajibkan menyimpan dana simpanan
wajib minimum sebesar 8 %.
Bank-bank Konvensional dalam operionalnya, jika mengalami
kesulitan likuiditas dapat menggunakan Pasar uang dan Pasar modal dengan berbagai
instrument, seperti fasilitas diskonto (discount rate), fasilitas Bank Indonesia (FASBI), Sertifikat
Bank Indoensia (SBI), saldo giro wajib minimum (likuiditas), pagu kredit, operasi
pasar terbuka. Sedangkan pada Bank
syariah bila mengalami kesulitan likuiditas tidak dapat menggunakan
instrument-intrumen tersebut di atas, kecuali
simpanan giro wajib minimum, dan efek-efek (khusus saham). Obligasi merupakan
surat pengakuan hutang berbunga) dan instrument lainnya tidak bisa digunakan
oleh Bank Syariah karena instrument-intrumen tersebut tidak dapat melepaskan
diri dari bunga (rate).
Resiko kesulitan likuiditas adalah resiko yang potensial terjadi
pada setiap lembaga keuangan perbankan, karena adanya penarikan yang cukup
besar dari nasabah. Bank syariah juga sangat potensial dari kemungkinan
kesulitan likuiditas karena dana yang tertanam pada kegiatan-kegiatan bisnis musyarakah, mudharabah dan piutang murabahah tidak mudah dicairkan dalam
waktu singkat bila terjadi penarikan besar dari investor khususnya dari nasabah
Giro Al-Wadi’ah dan nasabah Tabungan Al-wadiah, sehingga diperlukan cadangan likuiditas
yang cukup besar, cadangan saham yang marketable
seperti saham-saham pemerintah yang bebas bunga, atau saham-saham perusahaan
yang mudah dicairkan guna menutup kekurangan likuiditas. Namun demikian, dengan
perkembangan bisnis yang semakin maju pesat menutut kita untuk memikirkan dan
menciptakan instrument-instrumen yang bebas bunga yang dapat menanggulangi
kesulitan likuiditas Bank Syariah, agar tidak terjadi kesulitan likuiditas
dikemudian hari yang dapat berakibat kegagalan sistemik perbankan syariah.
2. Rumusan
Masalah :
2.1.
Bagaimanakah realisasi penghimpunan dan penyaluran dana nasabah
industri perbankan syariah
2.2.
Produk-produk apakah yang mendominasi kegiatan bisnis industri
perbankan syariah.
3. Tujuan
Penulisan
3.1.
Untuk mengetahui realisasi
penghimpunan dan penyaluran dana masyakat pada perbankan Syariah.
3.2.
Untuk mengetahui Produk-produk
yang mendominasi kegiatan bisnis
industri Perbankan Syariah
4.
Kegunaan Penelitian
Hasil
Penelitian akan digunakan sebagai
bahan referensi atau bahan bacaan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Makalah
ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan pangkat akademik dosen STAI
Polewali Mandar
5. Jenis
dan Sumber Data
Data Sekunder
diperoleh dari kepustakaan (library
research), dengan membaca buku-buku, peraturan perundang-undangan.
6. Metode
penelitian :
-
Memfokuskan penelitian pada produk-produk penghimpunan dana masyarakat
yang berupa giro wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Produk-produk ini ditawarkan kepada masyarakat yang bermaksud menginvestasikan
dananya.
-
Memfokuskan penelitian juga pada produk-produk penyaluran dana
kepada masyarakat yang berupa pembiayaan musyarakah, mudharabah, piutang
murabahah, piutang salam, piutang istishna, dan lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Dasar Operasional Perbankan Syariah
1. Beberapa
Pengertian
1.1 . A k a d
Menurut
Adiwarman A. Karim (2008 : 65-78) bahwa setiap kesepakatan bisnis antara sahibul-maal dan mudharib atau antara bank syariah dengan nasabahnya dalam melakukan
transaksi selalu di awali dengan akad atau kontrak. Akad atau kontrak melibat
dua pihak atau lebih, masing-masing pihak yang terikat dalam kontrak mempunyai
hak dan kewajiban. Akad berbeda dengan Wa’ad yang merupakan janji (promise)
dari satu pihak kepada pihak lainnya, dalam arti wa’ad hanya mengikat satu
pihak yaitu pihak yang memberi janji untuk memikul kewajiban, Sedangkan pihak
yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa. Akad secara garis besar
terdiri dari 2 yaitu Akad Tabarru dan Akad Tijarah.
1.1.1. Akad
Tabarru (transaksi social).
Menurut Adiwarman
Azwar Karim (2008 : 70) yaitu segala
macam perjanjian yang menyangkut nirlaba, dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a). H a r t a :
- Q a r d adalah suatu akad yang mengatur
ketentuan meminjamkan harta tanpa mensyaratkan imbalan apapun kecuali kewajiban
untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
- R a h n adalah suatu akad yang mengatur ketentuan
meminjamkan harta yang harus disertai
agunan (jaminan) atas pengembalian pinjaman.
- Hiwalah
adalah suatu akad yang mengatur tentang ketentuan meminjamkan harta untuk
mengambil-alih pinjaman yang bersangkutan dari pihak lain
b). J a
s a :
Menurut Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 120)
Wakalah atau wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Landasan hukumnya (al-Kahfi : 19) dan hadis (Malik no. 678, Kitab
al-Muwaththa’,bab Haji).
- Al-Wakalah Menurut
Adiwarman A. Karim (2008 : 68) adalah suatu akad yang mengatur ketentuan meminjamkan
jasa atau melakukan sesuatu ( keterampilan kita ) untuk orang lain
- Al-Wadi’ah
adalah suatu akad yang mengatur ketentuan tentang pemberian jasa
pemeliharaan, terdiri dari 2 macam yaitu wadi’ah
yad adh-dhamanah dan wadi’ah yad al-
amanah.
- Al-Kafalah adalah suatu akad yang mengatur
ketentuan tentang persiapan diri untuk melakukan sesuatu kewajiban bila terjadi
sesuatu hal, misalnya penerbitan Bank Garansi
c). Pemberian sesuatu harta misalnya hibah, waqf, shadaqah, hadiah
dll
1.1.2. Akad Tijarah (transaksi komersil).
Menurut Adiwarman Azwar
Karim (2008 : 70) bahwa akad tijarah merupakan segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini
dibuat dengan tujuan mencari keuntungan yang bersifat komersil, dibedakan atas
2 kelompok, yaitu :
1). Natural Certainty Contracts (NCC) yaitu akad
bisnis yang memberikan kepastian pendapatan (return), cash flow dan timing-nya
pasti, seperti akad atau kontrak jual beli (al
Bai’, al-murabahah) dan sewa-menyewa
(al-ijarah). Prinsip bisnis ini
menggunakan Teori Pertukaran.
2). Natural Uncertainty Contracts (NUC) yaitu akad bisnis yang tidak memberikan
kepastian penerimaan pendapatan (return),
cash flow dan timingnya tidak
pasti, hasil keuntungan atau return
bergantung kepada hasil investasi seperti al
Musyarakah, al-mudharabah, al-muzarah,
Al-mukhabarah dan Al-musaqat. Prinsip
bisnis ini menggunakan Teori Percampuran.
2.
Sistem Penghimpunan
Dana
Menurut Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 146)
bahwa pada dasarnya dana Bank Syariah bersumber dari modal, titipan dan investasi dari sahibul-maal.
2.1. Modal
Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner). Pada akhir tahun buku pemilik
modal akan memperoleh bagian hasil usaha yang disebut deviden. Dana modal ini
digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan kantor, dan sebagainya
yang secara tidak langsung menghasilkan (fixed
asset/non earning asset), Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat
dilakukan melalui musyarakah fi sahm
asy-syarikah (equity participation) pada saham perseroan bank. Menurut M. Umer Capra dan Tariqullah Khan
(2008 : 3 ) para pemodal dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah sarraf.
2.2.
Titipan.
Salah
satu cara yang dugunakan Bank Syariah dalam memobilisasi dana adalah dengan
menggunakan prinsip titipan dengan akad al-wadiah.
Al-wadi’ah dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan
wadi’ah yad adh-dhamanah. Konsep Wadi’ah yad al-amanah diartikan sebagai pihak yang menerima titipan
tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan,
hanya dapat membebankan biaya penitipan kepada penitip, Sedangkan konsep wadi’ah yad adh-dhamanah diartikan sebagai
pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang
yang dititipkan. Pihak bank akan mendapatkan hasil dari pengguna dana
(pengelola dana), sehingga bank dapat memberikan bonus kepada penitip (Muhammad
Syafi’i Antonio , 2001 : 148-150).
2.3.
Investasi
Muhammad
Syafi’i Antonio , (2001 : 150) mengatakan bahwa, akad yang sesuai dengan
prinsip ini, adalah Al-mudharabah
dengan tujuan kerjasama antara pemilik
dana (sahibul maal) dengan pengelola
dana (mudharib) dalam hal ini bank.
Seacara garis besar dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
2.3.1. Mudharabah
Muthlaqah (General Investment)
Sahibul maal tidak
memberikan batasan-batasan (restriction)
atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib
diberi wewenang penuh untuk mengelola dana tanpa terikat waktu, tempat, jenis
usaha, dan jenis pelayanan. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini
adalah time deposit biasa.
2.3.2.
Mudharabah Muqayyadah
Sahibul maal memberikan
batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai batasan-batasan
yang diberikan oleh sahibul maal,
misalnya hanya untuk jenis usaha tertentu, tempat tertentu, waktu tertentu dan
lain-lain. Aplikasi perbankan syariah yang sesuai dengan akad ini adalah Special investment. Produk ini sangat
sesuai dengan company yang memiliki kecenderungan investasi khusus,
investor tidak perlu menanggung overhead
cost bank terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke
proyek khusus dengan turn dan cost yang dihitung secara khusus pula.
Bank syariah menghimpun dana dari para investor yaitu pemegang
saham, giran, deposan dan penabung. Dana
deposan dan penabung dapat bersifat mudharabah
muthlaqah atau Unrestricted
Investment Account (URIA) dan dapat juga bersifat Restricted Investment Account (RIA) atau mudharabah muqayyadah tergantung permintaan nasabah yang dituangkan
ke dalam akad yang dibuat antara nasabah dengan bank syariah.
Dana syirkah dari pemegang saham, digunakan untuk investasi
gedung, peralatan kantor, kendaraan kantor dan yang lainnya bersifat URIA artinya bank bebas menggunakan
untuk kegiatan-kegiatan bisnis dan biaya operasional bank. Dana giro merupakan
titipan yang dapat dimanfaatkan oleh bank dengan resiko sepenuhnya berada pada
Bank Syariah atau dikenal dengan istilah Al-wadiah
yad Adh-dhamanah. Dana tabungan dapat bersifat wadi’ah yad adh-dhamanah dan dapat bersifat Al Mudharabah. Dana Deposito bersifat Al-Mudharabah yang apabila ditempatkan pada Al-Murabahah, Al- Muajjal, Al-Bai’-Taqsith, Istishna, atau
as Salam dapat diperhitungkan bagi
hasilnya setiap bulan atau pada saat jatuh tempo.
Dana mudharabah muqayyadah
(RIA) dapat bersifat on balance sheet
dan dapat pula bersifat off balance
sheet (sahibul maal bermitra langsung kepada mudharib, yaitu bank hanya menerima fee karena sebagai perantara).
Dana-dana yang berasal dari investor (sahibul maal) tersebut di atas yang dikelola oleh Bank syariah
semuanya dengan system bagi hasil yang
dapat diperhitungkan setiap bulan (URIA)
atau saat jatuh tempo deposit dan dapat juga setiap akhir tahun yang besarnya
tergantung pada keuntungan yang diperoleh Bank syariah, besarnya deposit dan
jangka waktunya.
3.
Sistem
Penyaluran dana
Skema
produk perbankan syariah secara alami merujuk kepada tiga kategori kegiatan
ekonomi, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Usaha yang bersifat produktif
difasilitasi melalui skema profit sharing
yaitu mudharabah dan partnership (musyarakah). Usaha yang bersifat
distributif memanfaatkan hasil-hasil produk, dilakukan melalui skema jual-beli
(murabahah) dan sewa-menyewa (ijarah). Yang bersifat Konsumtif berupa
barang yang ready stock dapat
difasilitasi melalui murabahah, salam untuk goods in process berjangka pendek serta istishna untuk goods in
process berjangka panjang. Sedangkan bila bersifat konsumtif berupa jasa,
maka dapat difasilitasi melalui ijarah.
3.1. Al Murabahah (jual-beli) atau Al Bai’
Menurut M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan (2008 : xxiii) bahwa
istilah umum bagi model pembiayaan berbasis jual-beli di dalam system keuangan
Islam. Al Bai’ tidak mensyaratkan pemberitahuan kepada pembeli
tentang keuntungan barang. Bila keuntungan penjual diberitahukan kepada pembeli
pada awal akad, disebut Al Murabahah (Adiwarman
Azwar Karim ,2008 : 73). Dalam akad Jual-beli ini, pihak-pihak yang
bertransaksi saling mempertukarkan assetnya,
baik real asset (ayn) maupun financial asset (dayn) dan masing-masing
pihak tetap berdiri sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru).
Al-Murabahah
atau Al Bai’ (jual-beli) merupakan konsep
bisnis Natural certainty Contracts, di
mana cash flow, timing-nya, dan
tingkat return investasinya dapat
dipastikan. Konsep bisnis ini menggunakan Teori Pertukaran yang bila ditinjau
dari segi objek pertukarannya, dapat diidentifikasikan
atas 3 jenis, Yaitu
-
Pertukaran real asset (ayn)
dengan real asset (ayn) = ayn + ayn
-
Pertukaran real asset (ayn) dengan
financial asset (dayn) = ayn + dayn
-
Pertukaran financial asset
(dayn) dengan financial asset (dayn) =
dayn + dayn, contoh :
Kedua belah pihak saling
mempertukarkan asset yang dimilikinya, misalnya Objek Pertukaraan adalah real asset (ayn) dengan financial asset (dayn). Real asset terdiri dari 2 jenis yaitu
barang dan jasa, sedang financial asset
juga terdiri dari 2 jenis yaitu uang dan bukan uang (surat berharga). Bila
objek pertukaran real asset (ayn)
adalah barang dengan financial asset
(dayn) adalah uang, maka disebut jual beli. Bila yang dipertukarkan adalah
jasa dengan financial asset (dayn)
adalah uang, maka disebut sewa-menyewa atau upah-mengupah. Baik berupa barang maupun jasa harus
ditetapkan akadnya pad awal pembuatan
akad dengan pasti, mengenai jumlahnya (quantity),
mutunya (quality), harganya (price), waktu penyerahannya (time of delivery). Kontrak-kontrak ini
menawarkan return yang tetap dan
pasti, seperti akad jual-beli (al Bai’,
Salam dan Istishna), Akad
sewa-menyewa (ijarah dan Ijarah Muntahia
Bit-tamlik/IMBT), sehingga disebut Natural
Certainty contracts (NCC).
Di atas telah disebutkan bahwa prinsip jual beli atau al murabahah ini pada umumnya dikenal 5 macam, yaitu :
-
Al Bai’ Naqdan yaitu jual-beli barang secara tunai pada saat ini
-
Al Bai’
muajjal
yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran tangguh secara lump sum (barang
diterima duluan, pembayaran secara lump sum belakangan),
-
Al Bai’
Taqsith
yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran tangguh secara angsuran (barang
diterima duluan, pembayaran secara cicilan belakangan),
-
Al Bai’
Salam
yaitu system jual-beli barang dengan
pembayaran secara lump sum di muka sebelum barang diterima (pembayaran duluan secara
lump sum, barang belakangan).
-
Al Bai’
Istishna
yaitu system jual-beli barang dengan pembayaran secara angsuran di muka sebelum
barang diterima (pembayaran secara cicilan duluan, barang belakangan)
Transaksi Al Bai’Naqdan biasanya dilakukan antara supplier dengan Bank Syariah dengan
maksud untuk dijual kembali oleh Bank Syariah kepada nasabahnya dengan
pembayaran berjangka, baik secara muajjal
maupun secara taqsith. Dalam hal ini
harga disepakati terlebih dahulu antara bank syariah dengan nasabahnya (pembeli)
termasuk keuntungan bagi Bank Syariah. Cash
flow dan timing-nya dalam
transaksi ini dapat ditentukan, maka sumber dana yang dapat digunakan dalam
transaksi ini adalah URIA (unrestricted
investment account) yang
memungkinkan dilakukan pembagian hasil setiap bulan
Transasi
jual-beli as- salam biasanya
transaksi ini dilakukan oleh Bank dengan supplier
berdasarkan pesanan nasabah dengan pembayaran lebih dahulu sebelum barang
diserahkan atau antara bank dengan kontraktor bangunan atas pesanan nasabah.
Hal ini juga biasa terjadi bila petani (nasabah) memerlukan dana sebelum hasil pertaniannya dipanen, tapi kuantitas,
kualitas dan harga ditetapkan terlebih dahulu dalam akad as-salam.
Transaksi istishna dapat diterapkan pada nasabah
yang memerlukan pembangunan rumah atau bangunan, bank membayar kontraktor
secara bertahap sesuai dengan bangunan yang telah diselesaikan. Pada akhir
pembangunan (periode) pembayaran dari bank lunas dan kontraktor menyerahkan rumah
kepada bank untuk selanjutnya diserahkan kepada nasabah dengan harga yang telah
disepakati terlebih dahulu termasuk keuntungan bank.
3.2. Ijarah (sewa-menyewa)
Bila yang
dipertukarkan adalah jasa dengan financial
asset (dayn) adalah uang maka disebut sewa-menyewa atau upah-mengupah.
- Ijarah
: sewa tanpa peralihan kepemilikan dan tidak memperhitungkan kinerja, misalnya
upah harian, sedangkan ijarah yang
memperhitungkan kinerja disebut ju’alah
misalnya upah borongan.
- Ijarah
Muntahia Bit-Tamlik (IMBT) : sewa yang memungkinkan peralihan kepemilikan
pada akhir periode kontrak.
3.3.
Al-Musyarakah dan Al-Mudharabah
Konsep bisnis Natural
Uncertainty Contracts, di mana cash
flow, timing-nya, dan tingkat return
investasinya tidak dapat dipastikan karena sangat bergantung pada hasil
investasi. Konsep bisnis ini menggunakan Teori Percampuran, yang bila ditinjau
dari segi objek percampurannya, dapat
didentifikasi atas 3 jenis, yaitu :
-
Percampuran real asset
(ayn) dengan real asset (ayn) = ayn +
ayn
-
Percampuran real asset
(ayn) dengan financial asset (dayn) =
ayn + dayn
-
Percampuran financial asset
(dayn) dengan financial asset (dayn)
= dayn+dayn
a.
Percampuran ayn dengan ayn :
Percampuran ayn dengan ayn misalnya terjadi pada syirkah ‘abdan, yaitu seorang tukang
batu bekerjasama dengan tukang kayu dalam membangun sebuah proyek perumahan,
keduanya sama-sama menggabungkan tenaga dan keahliannya. Keuntungan dan
kerugian ditnggung bersama berdasarkan nisbah yang telah ditentukan di awal
kerjasama.
b.
Percampuran Ayn dengan
Dayn.
Percampuran ayn (real asset)
dengan dayn (financial asset) dapat
berbentuk syirkah mudharabah dan syirkah
wujuh.
Syirkah
Al-Mudharabah artinya dua orang yang berserikat mencampurkan modal mereka.
Seorang yang memiliki modal harta (dayn) disebut sahibul maal dengan seorang
yang memiliki modal jasa keahlian atau keterampilan (ayn) yang disebut mudharib, dirumuskan ( Rp x + A).
Keuntungan yang diperoleh dari usaha kerjasama ini dibagi berdasarkan nisbah,
Sedangkan kerugian usaha hanya dibebankan kepada sahibul maal. Mudharib
hanya menderita kerugian jasa (tenaga dan keahlian tidak mendapat imbalan).
Syirkah
Wujuh
pihak yang berserikat mencampurkan modal dengan reputasi atau nama baik
seseorang ( Rp x + *F). Pemilik modal memperoleh keuntungan bagi hasil dengan
pemilik modal jasa berupa reputasi baik berdasarkan nisbah yang telah
ditentukan di awal kerja sama, bila usaha mengalami kerugian maka kerugian
hanya dibebankan kepada sahibul maal. Demikian juga pada Al-Muzara’ah, Al-Mukhabarah dan Al-Musaqat
= perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap.
c. Percampuran dayn dengan dyan.
Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) dapat berbentuk syirkah mufawadah, syirkah ‘inan.
Syirkah
Mufawadah
artinya dua pihak atau lebih yang berserikat mencampurkan modal yang sama
jumlahnya, masing-masing memperoleh keuntungan atau bagi hasil yang sama
besarnya dan kerugian juga sama besarnya, dirumuskan ( Rp x + Rp x).
Syirkah inan pihak yang berserikat mencampurkan modal yang
tidak sama jumlahnya, dirumuskan (Rp x + Rp Y), keuntungan bagi hasil tidak
sama besarnya berdasarkn nisbah dan kerugian juga secara proporsional dengan
jumlah modal yang disetorkan
Syirkah dayn dengan dayn
lainnya adalah financial asset non
uang (surat berharga) yang digabungkan, misalnya saham PT x dengan saham PT Y .
B.
Desain Akad
Pembiayaan Syariah
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 : 83) bahwa pembahasan suatu
akad pembiayaan syariah diperlukan 4 (empat) teknik untuk mendesain suatu akad pembiayaan
syariah, yaitu :
1. Memahami Karakteristik kebutuhan Nasabah
Teknik pertama yang perlu dilakukan dalam mendisain suatu akad
pembiayaan syariah adalah memahami karakteristik kebutuhan nasabah, yang
terdiri dari 2 hal, yaitu :
1.1. Objek Pembiayaan
Bilamana objek pembiayaan yang dibutuhkan nasabah adalah barang, maka
harus dilihat apakah barang tersebut ready
stock atau goods in process. Jika
ready stock., maka pembiayaan yang
layak diberikan kepada nasabah adalah murabahah,
namun jika barang tersebut berupa goods
in process harus dilihat waktu prosesnya pendek atau panjang. Bila goods in process pendek, maka pembiayaan
yang tepat adalah pembiayaan salam
dengan asumsi nasabah akan mampu menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu
pendek sekaligus, tetapi bila goods in
process panjang, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah pembiayaan istishna.
Di sisi lain
apabila objek pembiayan yang dibutuhkan nasabah adalah jasa, maka pembiayaan
yang layak diberikan adalah pembiayaan ijarah.
1.2. Kegunaan
Pembiayaan
1. 2.1. Untuk Modal Kerja
Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 161) mengatakan bahwa Bank
Syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja nasabah bukan
dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank
bertindak sebagai penyandang dana (sahibul
maal), Sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu
tertentu, sedangkan bagi hasil secara periodik dengan nisbah yang disepakati.
Setelah jatuh tempo nasabah mengembalikan dana tersebut beserta porsi bagi
hasil yang menjadi bagian bank. Pembiayaan Modal kerja meliputi :
1). pembiayaan likuiditas yaitu Bank syariah
menyediakan fasilitas berupa qardh
timbal-balik (compensating balance),
melalui fasilitas ini nasabah membuka rekening giro. Bila nasabah mengalami mismatched nasabah dapat menarik dana
saldo yang tersedia sampai jumlah yang telah disepakati dalam akad, atas
fasilitas ini bank tidak minta imbalan (Muhammad Syafi’I Antonio ,2001 : 162)
2). Pembiayaan Piutang (Receivable Financing), yaitu Bank memberikan pinjaman kepada
nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang.
Atas pinjaman ini bank minta cessie
atas tagihan nasabah tersebut. Dalam pembiayaan piutang ini, Bank Syariah hanya
boleh memberikan fasilitas al-qardh dan
tidak boleh meminta imbalan kecuali biaya administrasi (Muhammad Syafi’I
Antonio (2001 : 162).
3). Anjak
Piutang (Factoring) yaitu fasilitas
pengambil alihan piutang nasabah. Untuk keperluan itu nasbah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh
pihak berutang atau Promes (promissory
notes) yang diterbitkan oleh pihak yang berutang kemudian di endors oleh nasabah. Dalam pembiayaan anjak
piutang ini, Bank Syariah dapat
melakukan al-qardh dan tidak boleh
meminta imbalan kecuali biaya administrasi (Muhammad Syafi’I Antonio (2001 :
163)
4). Pembiayaan
Persediaan (inventory Financing)
Bank Syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi
kebutuhan pendanaan persediaan, yaitu antara lain menggunakan prinsip jual-beli
(al-bai’) dalam dua tahap. Tahap
pertama membeli dari supplier secara
tunai barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah, dan tahap kedua Bank Syariah
menjual kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan mengambil
keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah. Ada beberapa
skema jual-beli yang digunakan untuk meng-approach
kebutuhan tersebut, yaitu Bai’-al
Murabahah, Bai’ al-Istishna, Bai
as-Salam. Bila produksi dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal
kerja tersebut telah sedemikian cepatnya sehingga nasbah memerlukan pembiayaan
modal kerja secara evergreen, maka
skema pembiayaan yang paling tepat
adalah al-mudharabah (Muhammad Syafi’I
Antonio (2001 : 163)
5). Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilakukan dengan target
pembeli ssiapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan
oleh penjual, baik pedagang eceran (retailer),
maupun pedagang besar (whole seller).
Perputaran modal kerja (working capital
turn-over) pedagang semacam ini sangat tinggi dan pedagang harus
mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup sehingga skema yang paling tepat
adalah skema mudharabah (Muhammad
Syafi’I Antonio (2001 : 166)
6). Perdagangan Berdasarkan Pesanan.
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan ditempat penjual,
misalnya pedagang antarkota, perdagangan antarpulau, perdagangan antarnegara.
Pembeli terlebih dahulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual
berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan.
Biasanya pembeli membayar setelah barang yang dipesan telah diterima, untuk
menghindari resiko akibat ketidak mampuan penjual untuk mengirimkan barang
sesuai yang dipesan. Demikian juga sebaliknya menghadapi kemungkinan resiko
tidak dibayarnya oleh pembeli, sehingga untuk mengatasi permasalahan kedua
belah pihak, maka Bank Syariah telah mengadopsi mekanisme L/C (Letter of Credit) Bank Konvensional dengan
menggunakan skema al-wakalah,
al-musyarakah, al-mudharabah, ataupun al murabahah. Dalam hal al-wakalah, Bank syariah hanya
memperoleh pendapatan fee atau jasa
(Muhammad Syafi’I Antonio (2001 : 166)
Secara analisis system pembiayaan modal kerja ini, dipaparkan oleh
Adiwarman Azwar Karim (2008 :85) sebagai berikut, bahwa hal yang harus
dicermati adalah apakah barang atau jasa yang dibutuhkan nasabah akan digunakan
untuk kegiatan produktif atau konsumtif. Bila kegunaan pembiayaan yang
dibutuhkan untuk kegiatan produktif, maka harus dilihat apakah untuk modal
kerja atau investasi. Bila digunakan untuk modal kerja, harus dilihat apakah
mempunyai kontrak atau tidak. Jika mempunyai kontrak harus dilihat apakah
pembiayaan tersebut digunakan untuk pekerjaan kontruksi atau pengadaan barang.
Bila untuk pekerjaan konstruksi, maka pembiayaan yang layak diberikan oleh Bank
Syariah adalah pembiayaan istishna,
namun jika untuk pengadaan barang, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah mudharabah. Bila nasabah tidak mempunyai
kontrak, harus dilihat apakah barang ready
stock atau goods in process. Jika
ready stock, maka pembiayaan yang
layak oleh Bank Syariah adalah murabahah,
namun jika goods in process yang
jangka waktunya pendek, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan salam. Jika goods in Process berjangka waktu panjang, maka pembiayaan yang
layak diberikan adalah pembiayaan istishna.
1.2.2. Modal investasi
Pembiayaan investasi, Bank Syariah
menggunakan skema musyarakah mutanaqishah, yaitu Bank memberikan
pembiayaan dengan prinsip penyertaan dan secara bertahap bank melepaskan
penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali. Skema lain
yang dapat digunakan oleh Bank Syariah adalah al-ijarah al muntahia bit-tamlik yaitu menyewakan barang modal
dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan (Muhammad
Syafi’i Antonio ,2001 : 167). Secara analisis Adiwarman Azwar Karim (2008 :86)
memaparkan sebagai berikut, bahwa bila barang atau jasa untuk digunakan sebagai
investasi, maka dilihat apakah pembiayaan dimaksud untuk barang ready stock atau goods in process . Jika ready
stock berjangka panjang, maka pembiayaan yang diberikan adalah Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT),
tetapi jika berjangka pendek, maka pembiayaan yang layak diberikan adalah murabahah. Jika kegunaan barang untuk goods in process berjangka waktu
panjang, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan istishna, tetapi jika goods in process berjangka pendek, maka
pembiayaan yang layak adalah pembiayaan salam.
Jika kegunaan pembiayaan adalah untuk kegiatan konsumtif yang berbentuk barang
yang ready stock, maka pembiayaan
yang layak diberikan adalah pembiayaan murabahah. Jika kegunaan pembiayaan
bersifat konsumtif berbentuk barang goods
in process jangka pendek, maka pembiayaan yang layak adalah pembiyaan salam, tetapi jika berjangka panjang,
maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan istishna. Sedangkan jika kegiatan kegunaan konsumtif tersebut
berbentuk jasa, maka pembiayaan yang layak adalah pembiayaan ijarah.
2. Memahami Kemampuan Nasabah
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 :88) bahwa hal yang perlu
diperhatikan adalah apakah sumber pendapatan nasabah dapat diprediksikan (highly predictable) atau tidak. Jika highly predictable, apakah termasuk
pekerjaan konstruksi atau pengadaan barang. Jika pekerjaan konstruksi yang highly predictable , maka pembiayaan
yang layak diberikan adalah pembiayaan istishna,
namun jika untuk pengadaan barang, maka pembiayaannya adalah mudharabah. Jika sumber pendapatan
nasabah tidak termasuk ke dalam kategori highly
predictable, tetapi pembiayaan ready
stock , maka pembiayaan yang layak diberikan adalah murabahah. Jika pembiayaan goods
in process berjangka kurang dari 6 bulan, maka pembiayan salam, Jika lebih 6 bulan maka yang
diberikan adalah istishna’.
3.
Memahami
Karakteristik Sumber Dana Pihak Ketiga bagi Bank
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 :89)
bahwa teknik ketiga yang perlu dilakukan untuk mendesain suatu akad pembiayaan
syariah adalah memahami karakteristik sumber dana pihak ketiga yang pada
hakikatnya ditjukan untuk mendapatkan
1). Kepastian bank terhadap pemenuhan cash out bank dalam memberikan
pembiayaan, apakah dapat tertutupi dari pembayaran ( cash in ) dari nasabah
2). Kepastian bank terhadap kewajiban
pemberian bagi hasil kepada pihak ketiga, apakah dapat tertutupi dari
pembayaran nasabah ( cash ini ).
Dalam hal cash in bank,
harus diperhatikan faktor grace period pembayaran
nasabah yaitu suatu tenggang waktu yang diberikan oleh bank kepada nasabah
untuk tidak melakukan pembayaran cicilan sampai waktu tertentu. Sebagai
konsekuensi dari grace period bank tidak akan menerima cash in dalam periode tersebut, sehingga bank tidak mampu
memberikan bagi hasil kepada nasabah penyimpan dana. Oleh karena itu harus
dicermati apakah nasabah yang dibiayai tersebut melakukan pembayaran secara installment atau secara lump sum di akhir kontrak. Bila installment berarti bank masih mampu memberikan bagi hasil kepada
nasabah peyimpan dana sesuai dengan cash
in baik secara bulanan maupun nonbulanan. Jika pembayaran tidak dilakukan
secara bulanan oleh nasabah yang mendapat pembiayaan, maka bank dapat
menggunakan sumber dana RIA (mudharabah
muqayyadah) yaitu sumber dana yang hanya dapat digunakan pada waktu, tempat
atau objek tertentu.
4.
Memahami
Akad Fiqih yang Tepat
Menurut Adiwarman Azwar Karim (2008 : 94) bahwa sebuah transaksi tidak boleh
bertentangan dengan syariah Islam, baik dilarang karena zatnya haram, maupun
haram selain zatnya karena mengandung tadlis
(penipuan), ba’i najasy (rekayasa
pasar dalam demand), gharar (ketidak pastian kedua belah
pihak yang bertransaksi) dan riba (riba
fadl =riba yang timbul karena pertukaran barang yang sejenis yang tidak
memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya, sama waktu
penyerahannya, riba nasi’ah = riba
yang timbul akibat utang
piutang, timbul karena adanya perbedaan, tambahan antara barang
yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian, riba
jahiliyh= adalah utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman). Selain itu,
tarnsaksi dilarang karena tidak sah akadnya yakni rukun dan syarat tidak
terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad
yang salin berkaitan, dan berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2, dua akad
dalam suatu transaksi secara bersamaan).
Di sisi lain harus diperhatikan juga akad itu, apakah termasuk
kategori akad tabarru’ atau akad tijarah. Bila akad tabarru bank tidak bisa meminta
kompensasi dari nasabah terhadap pelaksanaan suatu transaksi. Sebaliknya jika
akad termasuk kategori akad tijarah,
bank berhak memperoleh kompensasi dari nasabah atas pelaksanaan suatu
transaksi. Selanjutnya terhadap akad tijarah, kita dapat mengidentifikasi
mana yang termasuk Natural Certainty
Contracts (NCC) dan mana akad tijarah
yang berbasis natural uncertainty
contracts (NUC) dengan tujuan untuk memperoleh
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu.
BAB 3
ANALISA DATA PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH
1.
Penghimpunan dan Penyaluran Dana
Bank Muamalah Indonesia merupakanBank Syariah yang pertama di
Indonesia didirikan pada tahun 1991 dan beroperasi sejak tahun 1992. Sampai
dengan tahun 1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, namun sejak tahun 2005
jumlah Bank Syariah di Indonesia bertambah menjadi 20 unit (3 bank umum syariah
dan 17 unit usaha syariah) dan BPRS bertambah menjadi 88 buah.
Penulis sendiri tertarik meneliti mengenai produk-produk unggulan
Bank Syariah setelah membaca laporan hasil penelitian Amir Machmud dan Rukmana yang
mengadakan penelitian terhadap PT. Bank Muamalat Indonesia periode sebelum dan
sesudah tahun 1998 (2010 : 92-93) yang menyimpulkan bahwa terjadi perkembangan
yang signifikan kinerja penghimpunan dana dan penyaluran dana pada periode
sebelum kebijakan tahun 1998 dan sesudah kebijakan tahun 1998 (kebijakan tahun
1998 dimaksud dengan diundangkannya UU No 10/1998 tetang perubahan UU No 7/1992
tentang Perbankan). Hasil penelitian tersebut mengelompokkan dua data yaitu data dana yang terhimpun rata-rata pertahun
dari 5 tahun pertama (sampai dengan tahun 1998) dan data penyaluran dana yang
terealisir rata-rata pertahun dari 5 tahun pertama (sampai dengan tahun 1998).
Demikian juga data sesudah tahun 1998 (sampai dengan tahun 2003) dikelompokkan
sama seperti di atas. Setiap kelompok data diperinci jenis produk yang
direalisasikan dengan angka realisasinya, berikut hasil penelitian
Data Bank Muamalat Indonesia peride tahun
1994-2003
I. Rata-rata Dana Terhimpun Pertahun Periode 1994-2003
1
= Rp 1 milyar
Periode
Giro Tabungan
Deposito SWM BI S.Berharga Bank Lain Lain-2 Total
sebelum 1998 54,03 207,13 602,68 0.45
0,50
- - 864, 79
sesudah
1998 185,35 369,32 800,75 163,04 0,74 - - 1.519,20
Sumber data
: hasil penelitian Amir Mahmud , (2010:92-93), diolah
Data di atas
menunujukkan bahwa dalam usaha menghimpun dana PT. BMI dari masyarakat pemilik
modal, adalah
-
dana deposito mudharabah
yang mendominasi, baik sebelum maupun sesudah tahun 1998, yaitu sebelum tahun
1998 rata-rata pertahun mencapai 62,18 % = Rp 602,68 milyar, sesudah tahun 1998
rata-rata pertahun mencapai 51,36 % = Rp
800,75 milyar.
-
Disusul dengan dana
tabungan mudharabah yaitu sebelum
tahun 1998 rata-rata pertahun mencapai 21,37 % = 207,13 milyar, sesudah tahun 1998 rata-rata
pertahun mencapai 23,69 % = Rp 369,32 milyar
II.
Rata-rata
Dana yang Disalurkan Pertahun Periode 1994-2003 1 = Rp 1 milyar
Periode
Murabahah Musyarakah Mudharabah SWM BI
S. Berharga Bank Lain
Lain-2 Total
Sebelum 1998 319,19 5,50 21,81 21,91 55,08 7,89 0,90 432.28
Sesudah
1998 725,19 22,82 448,21 131,42 160.38 69,77 0,83 1.700,82
Istishna 141,74 Salam 0,45
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber data
: hasil penelitian Amir Mahmud (2010:92-93). diolah
Data di atas
menunujukkan bahwa usaha penyaluran dana PT. BMI kepada masyarakat, adalah
-
Pembiayaan murabahah
mencapai angka rata-rata pertahun sebelum tahun 1998 adalah 73,28 % = Rp 319,
19 milyar .
-
Pembiayaan murabahah
rata-rata pertahun sesudah tahun 1998 mencapai 42,64 % = Rp 725,19 milyar,
ditambah dengan pembiayaan istishna =
8,33 % = Rp 141,74 milyar dan salam 0,03 % = Rp 0,45 milyar.
-
Disusul dengan pembiayaan mudharabah
pada periode sesudah tahun 1998 dengan angka rata-rata pertahun 26,35 % =
Rp 448,21 milyar. Sebelum tahun 1998 rata-rata pertahun pembiayaan mudharabah hanya mencapai 5,15 % = Rp
21,81 milyar
2.
Hasil Penelitian M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan
Menurut hasil penelitian M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan (2008
:5-6) bahwa Model pembiayaan yang tertinggi yang dilakukan oleh Lembaga
Keuangan Syariah (176 lembaga keuangan) sampai tahun 1997 adalah Murabahah
37,00 %, Musyarakah 19,00 %, Mudharabah 6 %,, Ijarah 9 % dan lainnya 29,00 .
Data kedua hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan yang
tertinggi yang dilakukan oleh Bank Syariah didominasi oleh pembiayaan murabahah, baik sebelum maupun sesudah
diundangkannya Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang
No 7 tahun 1992 tentang Perbankan syariah. Sesudah tahun 1998 realisasi pembiayaan
mudharabah baru mengalami kenaikan,
yaitu dari 5,15 % menjadi 26,35 % = Rp 448,21 milyar.
Data hasil penelitian Umer Chapra dan Tariqullah Khan menunjukkan
angka realisasi mudharabah sampai
tahun 1997 (sebelum tahun 1998) berkisar 6 % dari total dana yang
direalisasikan, angka persentase ini hampir sama dengan angka rata-rata
pertahun 5,15 % dari hasil penelitian Amir Machmud dan Rukmana.
Hasil penelitian kedua ahli tersebut di atas menyadarkan kepada
kita bahwa peranan Bank Syariah dalam mendorong sektor riil di bidang pembiayaan
mudharabah (investasi) sampai tahun
1998 belum memenuhi harapan kita, karena pembiayaan bisnis perbankan Syariah hanya
bermain pada bidang perdagangan khususnya distribusi dan konsumsi (murabahah 73,28 %). Hal ini dapat dimengerti karena Bank
Syariah pada waktu itu baru beroperasi kurang lebih lima tahun dan belum
mengenal dengan baik nasabahnya, selain itu terjadi krisis moneter yang melanda
Indonesia dan Asia.
Pembiayaan mudharabah dan
al-musyarakah atau kemitraan bagi
hasil di bidang produksi ( investasi ) yang
menjadi andalan perbankan syariah dalam menggerakkan sektor riil khususnya
Usaha Kecil Menengah (UKM) dan pemberdayaan professi sumber daya manusia ( SDM
) baru mulai tampak setelah tahun 1998 atau setelah beroperasi kurang lebih 10
tahun dengan angka kenaikan yang cukup signifikan yaitu pembiayaan bisnis al-mudharabah naik dari 5,15 % = Rp 21,81
milyar menjadi menjadi 26,35 % = Rp 448,21 milyar, al musyarakah naik dari 1,34 % menjadi 8,34 % dari total penyaluran
dana Bank Muamalat Indoensia.
Bank syariah pada mulanya masih sangat berhati-hati untuk
menanamkan kepercayaan kepada mudharib,
sehingga perbankan syariah lebih suka bermain pada sektor usaha yang memberikan
pendapatan (return) yang pasti atau dapat dikatakan lebih menyukai pembiayaan yang
bersifat Natural Certainty Contract seperti
murabahah dan ijarah, namun setelah beroperasi 10 tahun dan sudah mempunyai
pijakan atau dasar hukum operasional yang kuat, barulah perbankan syariah
mengebangkan sayapnya pada bisnis investasi yang termasuk ke dalam Natural Uncertainty contract seperti al-musyarakah dan al-mudharabah sebagai suatu bisnis yang dapat menjanjikan perbaikan ekonomi usaha kecil menengah.
BAB 4
P E N U T U P
1.
KESIMPULAN
Setelah 20 tahun sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia,
Perbankan Syariah di Indonesia telah berkembang dengan pesatnya, ditandai
dengan berdirinya ratusan kantor-kantor bank syariah, namun demikian
sosialisasi secara intensif mengenai produk-produk bank syariah masih perlu
dilakukan, khususnya mengenai produk
pembiayaan musyrakah dan mudharabah. Kedua produk ini masih belum
memasyarakat di Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia sudah berpuluh-puluh
tahun didoktrin dengan konsep perbankan barat dengan system bunga atau riba.
Umat Islam sangat memerlukan lembaga
keuangan berbasis syariah untuk dapat menjalankan ajaran agamanya dengan baik.
2.
SARAN
Pemikiran
terhadap konsep produk-produk baru yang sesuai dengan syariah masih perlu terus
dikembangkan, termasuk instrument-instrument baru pada pasar uang dan pasar
modal yang bebas bunga atau riba, agar tidak menimbulkan masalah likuiditas dikemudian
hari yang dapat berdampak buruk bagi bank syariah.
DAFTAR PUSTAK
Adiwarman Azwar Karim.
2008. Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan. RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
Amir Mahmud
dan Rukmana. 2010. Bank Syariah. Teori,
Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Hermawan Kartajaya dan Muhammad
Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing.
Mizan Pustaka
Bandung
M. Arifin
Hamid.2007.Membumikan Ekonomi Syariah di
Indonesia.Prospektif Sosia-Yuridis. Elsas. Jakarta
Hasan Aedy. 2007.
Indahnya Ekonomi Islam. Alfabeta.
Bandung.
Muchdarsyah
Sinungan. 1987. Uang dan Bank. Bina
Aksara.Jakarta.
Muhammad
Syafi’I Antonio. 2001. Bank Syariah dari
Teori ke Praktik. Gema Insani Jakarta.
Rahmadi Usman. 2012.Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Sinar Grafika.Jakarta
Sumantoro. 1986. Hukum Ekonomi. UI-Press.Jakarta
Umaer Chapra dan Tariqullah Khan. 2008. Regulasi & Pengawasan Bank Syariah.
Bumi Akasara. Jakarta.
TINJAUAN PRODUK
DOMINAN PERBANKAN SYARIAH DI INDOANESIA
D
I
B
U
A
T
Oleh
Drs. H. Tadjuddin Malik, SH.MH
STAI DDI Polewali Mandar
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar